Lihat ke Halaman Asli

Dadan Rizwan

Ketua Forum Intelektual Muda Nahdliyyin (FIMNA)

Bijaksana Menyikapi Hasil Pemilu

Diperbarui: 4 Mei 2019   13:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

                                                                                                                               https://tekno.kompas.com

Pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 2019 telah mencapai puncaknya pada 17 April 2019 kemarin. Dalam momentum ini, warga negara Indonesia telah bersama-sama menentukan siapa yang layak menduduki kursi presiden, wakil presiden, dan orang-orang yang akan duduk di parlemen baik di tingkat nasional maupun daerah.

Berdasar hasil quick count yang dilakukan sejumlah lembaga survei kredibel menunjukkan kemenangan Jokowi-Amin rata rata di angka 54%, ada selisih perolehan suara sekitar 10% dibanding pasangan Prabowo --Sandi yang mendapat angka rata-rata 45%. Sementara untuk pemilu legislatif, diprediksikan ada 9 partai politik yang akan lolos parliamentary threshold, atau ambang batas perolehan suara minimal partai politik dalam pemilu yang dikonversi ke jumlah kursi di parlemen yang ditentukan perundangan.

Berbagai umbul -umbul bendera partai, baliho maupun stiker kampanye telah diturunkan. Tensi ketegangan juga semestinya mulai mereda hingga nanti menunggu hasil dari KPU. Namun nyatanya klaim kemenangan berdasarkan quick count masih saja meninggalkan residu ambisi politis. Apalagi kedua pasangan calon pemimpin mempunyai keyakinan yang sama kuat telah menang pada pemilu 2019.

Saling Klaim Kemenangan

Deklarasi kemenangan dalam Pilpres 2019 telah digelar masing-masing calon presiden. Joko Widodo mengklaim kemenangannya didasarkan pada data perolehan suara sementara lewat hitung cepat (quick count) yang dilakukan belasan lembaga survei. Sementara Prabowo dalam tiga kali deklarasi, tetap mengaku unggul dengan angka 62% berdasarkan penghitungan hasil TPS (form C1 plano) yang dikumpulkan oleh tim kampanye Prabowo-Sandi. Keduanya saling klaim kemenangan

Riuh rendah reaksi atas hasil hitung cepat pun terjadi juga dalam percakapan media sosial dan pemberitaan media daring. Perdebatan dan polemik antar pendukung pasangan calon presiden tak bisa dihindari. Tudingan hasil hitung cepat adalah sebuah rekayasa untuk menggiring opini publik pun terlontar, sehingga polarisasi dikalangan warganet pun masih terus berlanjut. Tentu ini bukanlah hal yang baik, karena bisa berujung pada konflik.

Memang, Scannell (2010) memaparkan bahwa konflik adalah suatu hal alami dan normal yang timbul karena perbedaan persepsi, tujuan atau nilai dalam sekelompok individu. Namun demikian, jika masing-masing pihak mau menang sendiri tanpa mengedepankan obyektivitas, maka akan berlanjut ketahap polarisasi bahkan konflik memasuki tahap segregasi (saling menjauh, putus komunikasi). Tentu ini bukanlah hal yang baik.

Kita mesti menyadari bersama, hitung cepat adalah salah satu metodologi ilmiah dalam bidang riset yang bisa dipertanggungjawabkan hasilnya. Meski demikian hasil hitung cepat bukanlah kesimpulan akhir. Dia hanya memberikan sebuah indikasi, dengan tingkat kesalahan yang terukur, sekitar 1 hingga 3 persen. Karenanya berdebat atas hasil perhitungan cepat beberapa Lembaga survei, menjadi tidak produktif, karena tidak akan bisa memengaruhi hasil akhir perolehan suara pemilu.

Para konstestan sebaiknya bersiap menerima apa pun hasil pemilu yang digelar hari ini. Protes berlebihan dari pihak yang kalah, apalagi tanpa dukungan bukti, hanya akan memperlihatkan sikap yang kurang berjiwa besar. Mewaspadai segala bentuk kecurangan memang penting, mempersoalkan hasil pemilu juga merupakan hak setiap kontestan. Tapi sebaiknya hal tersebut dilakukan lewat mekanisme demokrasi dan hukum yang berlaku.

Kawal Sesuai Konstitusi

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline