Lihat ke Halaman Asli

N. Alam Pratama

Lingkar Ide

Kini Aku Benar-benar Menderita

Diperbarui: 26 Februari 2023   23:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Bila kota adalah lalu lalang kendaran yang melintas dan kesibukan kerja, maka aku adalah alien yang terjebak rutinitas manusia di planet ini. Bila kerja adalah uang, makan dan masa depan, maka aku adalah keterasingan di antara lelah dan keringat. Bila Lelah dan Keringat adalah demi kebahagiaan, maka aku benar-benar akan mengutuk kehidupan ini sampai datang kematianku.

Setiap malam aku dirundung kecemasan dan kekhawatiran. Dihantui kemungkinan-kemungkinan buruk hari esok yang entah terjadi atau tidak. Pikiranku berkeliaran mencoba mencari cara untuk lepas dari rasa cemas dan takut yang sangat mengganggu namun selalu gagal. Aku sungguh tak berdaya dan kehilangan rasa percaya diri. Bahkan, semakin malam kondisiku malah semakin tidak stabil. Nafasku sesak dan jantungku berdenyut lebih cepat. Aku berharap ingin bisa tidur nyenyak dan bangun ketika adzan subuh berkumandang. 

Namun, emosiku malah semakin tak karuan. Aku menangis ketakutan, membenturkan kepalaku ke dinding kamar, menjambak rambutku sekencang mungkin, memukuli dadaku yang sesak sekeras mungkin, mencaci-maki diri dengan kata-kata kasar; "bodoh, tolol, sampah, tak berguna, mengecewakan, busuk, tak pantas hidup", sumpah serapah ku lontarkan untuk diriku sendiri. Keringat dingin membasahi tubuhku yang gemetar. Aku merasa semakin lemah tak berdaya. Aku seperti kehilangan kesadaran.

Darahku serasa mendidih, marah pada diri sendiri dalam kondisi seperti ini. Muak dengan rasa cemas dan takut yang jadi rutinitas perasaan malam hariku. Depresi berat dan tak bisa berpikiran logis. Tak bisa berdamai dengan diri sendiri. Aku sangat menderita. Mendengar musik dan menanyi lirih.

Tergelatak lemas di atas kasur dan memegang buku. Memandangi foto kekasihku dan menangis sendu. Terlintas dipikaranku, aku ingin bunuh diri di depannya, sayangnya, selalu ragu; aku berpikir bahwa hal semacam itu adalah pilihan yang konyol dan ia pasti akan menolak keras. Namun aku tak kuasa jika setiap malam gembiraku disandera kecemasan dan bahagiaku ditawan ketakutan. Aku ingin pergi dari kecemasan dan ketakutan ini. Aku ingin menghilang dari bumi yang ku tinggali. Aku ingin mengakhiri penderitaan ini.

"Thought I found a way, Thought I found a way out. But never go away, so I guess I gotta stay now. Oh, I hope some day, I'll make it out of here. Even if it takes all night, or a hundred years" Aku sering memutar ulang "Lovely" yang dinyanyikan Billie Eilish dan Khalid setiap malam sambil memejamkan mata setelah minum obat tidur dan antidepresan. Berharap semua itu bisa membuatku lebih tenang. Namun ternyata tidak. Kecemasan dan ketakutan tetap menyita tidurku. Dan, malamku menjadi semakin panjang.

Aku sempat pergi memeriksakan diri ke rumah sakit ihwal Anxiety yang ku derita yang memang ku rasa semakin hari bertambah parah dan tak bisa ku kendalikan. Selesai medical skrining sampai diagnosis medis tentunya aku mendapat resep obat yang harus dikonsumsi secara rutin demi kesembuhanku. Sayangnya, sampai obat-obatan bikinan farmasi habis, kondisiku masih belum membaik, malah bisa dibilang masih sama hingga akhirnya aku memutuskan mengunjungi seorang psikiater secara berkala.

Psikiater yang ku kunjungi nampak sangat simpatik dan tahu kalau aku banyak menyimpan masalah dan keresahan dalam pikiranku Aku mengkonsultasikan kondisiku yang menyakitkan. Menceritakan semua kecemasan, ketakutan serta kekhawatiran yang muncul tiap malam dan seluruh hal yang (mungkin) menjadi masalahku. Keluarga dan asmara. Masalah personal, pertemanan hingga negara, dan tekanan sosial yang ku hadapi sepanjang hari, hingga rasa takut kehilangan hal-hal berharga bagi hidupku. Semua ku ceritakan secara mendetail. Bahkan, aku bisa menghabiskan waktuku selama dua jam hanya untuk duduk dan bercerita.

Lebih sering olahraga, bercerita dengan keluarga, bertemu dengan orang lain dan sering berkunjung ke tempat-tempat yang bisa membuatku relaks adalah jawaban yang sering ku dapati. Namun, aku belum memikirkan akan melakukan semua anjuran tersebut, sebab bisa bercerita panjang-lebar selepas mungkin, itu sudah membuatku tenang.

Jujur, aku tidak dapat melakukan hal semacam itu kecuali dengan psikiater yang ku kunjungi. Bahkan dengan keluarga atau orang-orang terdekatku pun tidak sanggup.

Sayangnya aku terbatas finansial, dan harus menyudahi kunjungan berkala yang telah ku lakukan berbulan-bulan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline