Lihat ke Halaman Asli

Wahyu Tanoto

Penulis, fasilitator, reviewer, editor

Aspek Penyebab KDRT

Diperbarui: 16 April 2021   05:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber gambar: https://pixabay.com/

Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang lebih sering dialami oleh istri masih menjadi permasalahan serius yang perlu mendapat perhatian. Komponen dalam rumah tangga, seperti suami yang mestinya menjadi rekan istri dalam mengelola keluarga ternyata malah menjadi pelaku kekerasan. Sedangkan istri kerapkali menjadi korban. Aspek sosial budaya, suami, ekonomi dan aspek individu disinyalir menjadi faktor penyebab KDRT.

Menurut Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan menyebutkan bahwa pada tahun 2021, KDRT Ranah Personal sebanyak 79% (6.480 kasus). Diantaranya terdapat Kekerasan Terhadap Istri (KTI) menempati peringkat pertama 3.221 kasus (50%), disusul kekerasan dalam pacaran 1.309 kasus (20%) yang menempati posisi kedua. Posisi ketiga adalah kekerasan terhadap anak perempuan sebanyak 954 kasus (15%), sisanya adalah kekerasan oleh mantan pacar, mantan suami, serta kekerasan terhadap pekerja rumah tangga. Dalam konteks ini, bentuk kekerasan yang paling " menyedot " perhatian publik yakni kekerasan fisik 2.025 kasus (31%) yang menempati peringkat pertama disusul kekerasan jenis kelamin sebanyak 1.983 kasus (30%), psikis 1.792 (28%), dan kekerasan ekonomi sebanyak 680 kasus (10%).

Aspek sosial budaya

Adanya pandangan yang menyebut bahwa istri sebagai makhluk nomor dua dan suami sebagai pemegang otoritas kekuasaan di tingkat rumah tangga dan publik merupakan penyebab kekerasan. Penulis dapat mengingat dengan jelas, bahwa sejak kecil ada sebagian kecil keluarga di lingkungan tempat tinggal saya yang kerap menanamkan dan memperlihatkan praktik-praktik yang justru " merendahkan " istri dan " mengunggulkan " suami. Jika hal ini tidak disudahi, maka kekerasan akan terus terjadi. Suami akan " kebal " dari kritikan, dan haram dibantah meskipun tindakannya tidak benar.

Suburnya " prinsip " melayani suami dalam keadaan apapun yang sering diperdengarkan di forum-forum pertemuan, ternyata turut serta memperburuk keadaan istri. Jika istri tidak patuh " melayani " permintaan suami, biasanya akan mendapatkan stigma negatif sebagai istri yang tidak berbakti. Akibatnya rentan ada pemaksaan dalam hubungan. Sialnya, praktik-praktik seperti ini sering kali juga mendapat pembenaran dari tafsir-tafsir ajaran agama yang justru semakin merendahkan posisi istri.

Masih segar dalam ingatan penulis ketika masih usia sekolah di SD, ada pelajaran membaca yang memposisikan istri selalu berada di ruang dapur sedang menyiapkan minuman bagi suami yang sedang membaca surat kabar di ruang tamu. Tampak jelas, dalam relasi tersebut posisi suami dilayani, sedangkan istri melayani. Memang, dalam konteks ini contoh tersebut sangat mungkin dipahami tidak sama, namun saya hanya ingin menegaskan bahwa jika hanya sekedar membuat minum semua orang pasti bisa tidak harus istri. Bagi penulis, urusan peran rumah tangga  bukanlah urusan kodrati yang memang tidak dapat diubah. Penulis pernah mendengar suatu ungkapan yang menyebutkan bahwa kekuasaan seorang istri berada di dapur. Hal ini tentu saja semakin memperburuk istri, karena dianggap tidak perlu terlibat dalam peran wilayah publik, seperti; rapat di desa, rapat perencanaan pembangunan di dusun, suara mereka biasanya hanya diwakilkan atau bahkan terkadang sebagai pelengkap saja. 

Menurut hemat penulis, jika ada pembatasan hubungan suami istri hanya di wilayah biologis, sampai kapanpun keberadaan istri selalu dianggap inferior dan berada di bawah suami. Setahu penulis bahwa hubungan suami dan istri bukanlah sebagai majikan dan buruh, bukan yang di depan atau di belakang. Namun berdampingan, sederajat dan sejajar dengan mengedepankan prinsip kesalingan; saling membutuhkan, saling melindungi, saling melengkapi, saling berbagi dan saling menyayangi.

Aspek suami

Perlakuan " istimewa " yang sering diperoleh suami juga turut andil dalam menyumbang kekerasan terhadap perempuan. Kita mengenal istilah patriarki untuk menggambarkan bagaimana pengaruh ajaran kewenangan " tanpa batas " yang hanya diterima oleh suami. Meminjam istilah Michael Kaufman, seorang aktivis yang memimpin kampanye " Pita Putih " menyatakan bahwa penyebab terjadinya kekerasan pada perempuan berkaitan dengan tiga faktor yang merupakan cara laki-laki dalam menunjukan kekuasaannya, yaitu kekuasaan patriarki, hak istimewa, dan sikap yang permisif atau memperbolehkan.

Masalah menjadi semakin rumit ketika ada suami yang melakukan KDRT terhadap istri terkadang (masih) dianggap " wajar ", tanpa sangsi sosial, dan tidak diprotes. Tidak sedikit kasus yang terjadi ketika ada orang lain yang berusaha membantu korban malah diteriaki sebagai turut campur terhadap urusan rumah tangga orang lain. Akibatnya, praktik kekerasan semakin tumbuh subur.

Aspek ekonomi

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline