Lihat ke Halaman Asli

Cosmas Handa Dwi Putra

Pengajar di Yayasan Tarakanita Wilayah Jawa Tengah

Sejarah Desa Wisata Tembi

Diperbarui: 18 Juni 2015   07:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

“Penampakan Wajah di Balik Desa Tembi”

Sejarah Desa Wisata Tembi

Abad 16, Musuh Kesultanan Pajang, Arya Penangsang berhasil dikalahkan Ki Ageng Pemanahan. Tak seorang pun mengira bahwa peristiwa tersebut menjadi sebuah sejarah besar bagi eksistensi Desa Tembi.

Kekalahan Arya Penangsang menghadirkan Alas Mentaok sebagai hadiah Sultan Pajang kepada Ki Ageng Pemanahan pada tahun 1558. Ki Ageng Pemanahan mengubah wajah Alas Mentaok menjadi lebih beradab. Kotagede adalah wajah baru itu, yang mulai berdiri pada tahun 1577. Tujuh tahun lamanya Ki Ageng Pemanahan mendirikan dan memimpin wajah baru, Kotagede. Pada tahun 1584, wajah baru itu ditinggalkan oleh pendirinya untuk selamanya.

Kematian pendiri, tidak membuat si wajah baru merasa lelah untuk berdiri. Sutawijaya yang bergelar Senapati Ingalaga Sayidin Panatagama menjadi penggantinya untuk mengawal wajah Kotagede. Sutawijaya yang lebih akrab disebut Panembahan Senapati itu, kini mengajarkan wajah Kotagede untuk sedikit mendongak.

Selama 17 tahun saja Kotagede bisa mendongakkan wajah bersama Panembahan Senapati. Pada tahun 1601, Mas Jolang menggantikan Panembahan Senapati yang wafat. Mulai tahun tersebut, 12 tahun masa hidup Mas Jolang diabdikan untuk menjaga wajah Kotagede mendongak penuh wibawa. Pengabdian serupa terus dilanjutkan oleh Pangeran Arya Martapura, putra Mas Jolang. Dari pengabdian Pangeran Arya Martapura itulah kakaknya yaitu Raden Mas Rangsang masih dapat merasakan hadirnya kebesaran Panembahan Senapati.

Raden Mas Rangsang mencoba untuk menghadirkan kembali semangat para pendiri. Dengan bergelar Sultan Agung Senapati Ingalaga Abdurrahman, diwujudkannya wajah Kotagede yang semakin kokoh dan makmur. Sayang, sepeninggal Sultan Agung pada tahun 1645, wajah Kotagede cemberut oleh perpecahan dan pertentangan keluarga Kerajaan.

Orang-orang dewasa di lingkungan Kerajaan saling memancarkan aura negatif nan haus kekuasaan. Menghindari aura negatif itu mengakar dalam, generasi muda yakni anak-anak raja dititipkan di suatu tempat. Nama tempat itu adalah Tembi. Situasi yang sunyi dan jauh dari kegaduhan situasi Kerajaan menjadikan Tembi tempat yang baik mengolah rohani. Di bawah asuhan Kyai Tembini dan Nyai Tembini, anak-anak raja mengolah Kanuragan. Tidak hanya itu, anak-anak raja juga dibina agar kelak menjadi anak yang berbudi dan bermartabat. Anak-anak itu terus bertumbuh menjadi pribadi yang peka akan kebutuhan sesama. Dengan demikian Kyai Tembini dan Nyai Tembini mulai melepas anak-anak raja untuk mengarungi kehidupan yang lebih luas, berjumpa dengan wajah-wajah baru. Dengan penuh kelegaan jiwa Kyai Tembini dan Nyai Tembinipun terlepas dari tubuh renta menyatu dalam kebesaran alam.

Tiga setengah abad sesudahnya, pada tahun 1997, Desa Tembi ditetapkan sebagai kawasan desa wisata. Pohon PrehBesar di tengah desa Tembi menjadi tonggak dimakamkannya Kyai dan Nyai Tembini bersama siswanya yang bernama Kyai Diposono. Kini desa Tembi berdiri dengan kokoh dengan keramahan warganya dan terus membuka diri bagi siapa saja yang ingin berkunjung mengolah “kanuragan”. (Red)




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline