*) Sebuah Renungan dari Ngaji Filsafat bersama Dr. Fahruddin Faiz
Di era sekarang, hampir semua orang punya panggungnya sendiri. Entah itu lewat Instagram, TikTok, atau Twitter — kita bisa menampilkan siapa pun yang kita mau ke dunia luar. Tapi pertanyaannya, siapa sebenarnya yang sedang kita tampilkan? Apakah itu benar-benar diri kita, atau hanya topeng sosial yang sengaja kita pakai agar tampak "baik" di mata orang lain?
Ngaji filsafat bersama Dr. Fahruddin Faiz kali ini membahas hal yang sangat relevan dengan dunia hari ini: perbedaan antara self dan persona. Dua istilah yang, walaupun terdengar sederhana, menyimpan kedalaman makna yang bisa membuka mata kita tentang siapa sebenarnya diri kita di balik layar ponsel dan pencitraan digital.
Dr. Faiz mengawali dengan menjelaskan bahwa self adalah diri kita yang asli — yang mungkin tidak selalu indah, tidak selalu rapi, tapi apa adanya. Sedangkan persona adalah topeng. Ia adalah citra yang kita tampilkan kepada orang lain, yang sengaja kita poles agar terlihat menarik, pintar, alim, atau sesuai dengan ekspektasi sosial. Dalam bahasa yang lebih ringan, persona itu semacam "versi editan" dari diri kita.
Masalahnya, banyak dari kita yang mulai percaya bahwa persona itu adalah diri kita yang sesungguhnya. Apalagi di media sosial, di mana yang terlihat adalah yang ditampilkan. Dan yang ditampilkan sering kali bukan self, tapi persona. Di titik inilah kejujuran terhadap diri sendiri menjadi penting. Karena, seperti yang dikatakan Bapak Faiz, kalau kita terlalu lama memakai topeng, bisa-bisa kita lupa wajah asli kita seperti apa.
Lalu, apa salahnya memakai persona? Ternyata tidak selalu salah. Persona bisa menjadi semacam “seragam sosial” yang membantu kita beradaptasi dalam lingkungan. Sama seperti kita berpakaian rapi saat wawancara kerja, atau berbicara lebih sopan saat bertemu orang tua pasangan. Tapi, jika persona itu kita pakai sepanjang waktu tanpa disadari, itu bisa menipu, bukan cuma orang lain, tapi juga diri sendiri. Kita jadi capek — berpura-pura terus-menerus.
Di tengah obrolan itu, muncul konsep menarik: becoming. Menurut Dr. Faiz, becoming adalah proses sadar untuk menjadi lebih baik. Artinya, kita menyadari siapa diri kita sekarang, lengkap dengan kekurangan dan kelebihannya, lalu pelan-pelan menapaki jalan perubahan tanpa pura-pura. Ini beda dengan pencitraan. Kalau pencitraan hanya menutupi kekurangan, becoming justru mengajarkan kita untuk merangkulnya, lalu memperbaiki secara bertahap.
Di sinilah letak keindahannya. Karena, ternyata, tidak semua pencitraan itu buruk. Kalau dilakukan dengan niat baik dan penuh kesadaran, bisa saja itu adalah langkah awal kita menuju perubahan. Contohnya begini: ada seseorang yang mulai memposting konten dakwah atau kebaikan di media sosial. Awalnya, mungkin itu cuma pencitraan. Tapi lama-kelamaan, karena konsisten dan banyak mendapat dukungan, akhirnya ia benar-benar menjadi pribadi yang lebih baik, bukan hanya di dunia maya, tapi juga di kehidupan nyata.
Namun, tentu ini butuh satu hal penting: kesadaran. Kesadaran diri adalah kunci untuk membedakan apakah kita sedang memoles topeng atau sedang membentuk karakter. Kita harus bertanya pada diri sendiri: “Untuk apa aku menampilkan ini? Untuk siapa? Apa aku sedang menjadi diriku, atau sedang menjadi apa yang orang mau lihat?”
Sayangnya, dalam dunia yang serba cepat ini, berpikir pun sering kali dianggap ribet. Banyak orang lebih suka menghakimi ketimbang memahami. Mengutip kata-kata Carl Jung yang disampaikan oleh Dr. Faiz: “Berpikir itu sulit, maka banyak orang memilih untuk menilai saja.” Kita jadi cepat mengambil kesimpulan hanya dari tampilan, tanpa peduli ada apa di baliknya. Maka, kita pun perlu lebih bijak dalam memandang orang lain — bahwa apa yang mereka tampilkan, belum tentu seperti yang sebenarnya mereka jalani.