Lihat ke Halaman Asli

Ibadah Tak Sekadar Gerakan, Tapi Perjalanan Jiwa

Diperbarui: 14 Juli 2025   20:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi hati sebagai pusat kendali amal dan keikhlasan dalam beribadah. Foto menggambarkan refleksi batin. (Sumber: Pexels/Ylanite Koppens)

Ada satu pertanyaan yang kadang menampar pelan: Sudahkah ibadah kita diterima oleh Allah, atau hanya sekadar rutinitas kosong yang tidak menembus langit?

Pertanyaan ini bukan datang dari rasa takut yang membungkam, melainkan dari kesadaran: bahwa ibadah yang baik bukan hanya soal gerakan, bacaan, atau durasi. Tapi tentang hati - yang kadang terabaikan justru saat tubuh kita sedang sibuk "beramal".

Dalam sebuah dakwah Pengasuh Pondok Pesantren Darulughah Wadda'wah (Dalwa) Pasuruan, Ustadz Segaf Baharun, yang saya ikuti secara virtual baru-baru ini, saya diingatkan kembali bahwa amalan lahiriah seperti salat, sedekah, puasa, bahkan belajar dan berbuat baik, tidak serta-merta diterima oleh Allah. Semua itu bersyarat. Dan salah satu syarat yang utama adalah menjaga hati.

Mengapa hati? Karena hati adalah pusat kendali. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW, hati manusia berada di antara dua jari Allah Yang Maha Penyayang. Ia bisa berbolak-balik. Hari ini ikhlas, esok bisa riya. Hari ini tenang, esok bisa sombong. Ia tak pernah statis, dan di sanalah letak ujian terbesar kita.

Contoh paling nyata - dan paling menyentak - adalah kisah iblis. Ia bukan makhluk biasa. Pernah beribadah kepada Allah selama 185.000 tahun. Tapi begitu disuruh sujud kepada Nabi Adam, ia menolak. Bukan karena tidak tahu, tapi karena sombong. Ia merasa lebih mulia karena tercipta dari api, sementara Adam dari tanah.

Apa hasilnya? Semua amal ibadah ribuan tahun itu terhapus. Ia diusir, dilaknat, dan menjadi simbol kegagalan spiritual meski secara lahir tampak tekun beribadah. Hatinya rusak. Dan ketika hati rusak, amal sebesar apa pun bisa hangus tanpa sisa.

Kita bisa rajin ke masjid, berbagi di jalanan, bahkan hafal ayat-ayat Al-Qur'an. Tapi kalau di hati masih ada dengki, riya, sombong, atau sekadar niat ingin dipuji, maka amalan itu tak ubahnya seperti wadah indah yang ternyata kosong di dalamnya.

Penulis buku Anakku Investasi Akhiratku itu juga mengingatkan: amal wajib tetap wajib dikerjakan. Kita tidak bisa berkata, "Toh belum tentu diterima, jadi buat apa salat?" Tidak begitu. Amal adalah kewajiban. Tapi penerimaan amal adalah wilayah yang bergantung pada kualitas hati.

Tubuh Juga Perlu Dijaga

Menjaga hati saja tidak cukup. Tubuh juga harus dikawal. Mata jangan liar, mulut jangan mudah menghakimi, tangan jangan menyakiti, kaki jangan melangkah ke tempat maksiat. Sebab, dosa-dosa anggota tubuh ini bisa menghapus pahala yang sudah kita kumpulkan.

Sebaliknya, kebaikan juga bisa menghapus dosa. Ada keseimbangan. Jadi tak perlu putus asa. Yang penting terus berusaha menjaga amal, menjaga hati, dan menjaga tubuh. Prosesnya panjang, bahkan seumur hidup. Tapi di situlah letak perjuangan sejati seorang hamba.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline