Internet dan media sosial adalah kecanggihan teknologi yang begitu akrab dengan kehidupan masyarakat Indonesia. Harga perangkat pintar dan tarif koneksi internet yang semakin murah serta diimbangi oleh kemudahan dan kekayaan fitur yang dapat digunakan tentunya membuat keduanya tidak diterpisahkan dalam kehidupan di negeri ini.
Data pengguna media sosial
Menurut riset oleh We Are Social pada Januari 2018 yang dikutip oleh Kompas dan MNC, di Indonesia, penetrasi ponsel mencapai 67% populasi, penetrasi media sosial mencapai 49% populasi, 45% populasi menggunakan ponselnya untuk mengakses medsos, dan rata-rata menghabiskan waktu selama tiga jam 23 menit untuk bermedsos ria.
Durasi ini cukup panjang, sekitar 39% dari rata-rata waktu akses internet selama delapan jam 44 menit berdasarkan data yang disebutkan oleh Dirjen Aplikasi dan Informatika pada akhir 2017. Aplikasi medsos yang paling banyak diunduh adalah WhatsApp, Facebook, Instagram, dan LINE. Dengan pengguna sebanyak itu, kita menempati peringkat ketiga pengguna Facebook, peringkat keempat pengguna Instagram, dan peringkat ke-12 pengguna Twitter.
Pencarian informasi oleh warganet Indonesia dan penyebaran hoaks
Menurut APJII dan Teknopreneur, 74.8% warganet kita menggunakan mesin pencari. Hal-hal yang diminati antara lain : artikel dan video tutorial, kesehatan, edukasi, agama, politik, dan harga barang. Sayangnya tak semua informasi yang mereka dapatkan tepat.
Data Kominfo bulan Desember 2017 menyatakan bahwa delapan ratus ribu situs di Indonesia menyebarkan berita bohong alias hoaks. Data milik Provetic dan Republika pada akhir 2017 menunjukkan bahwa bidang sosial-politik (91.8%) dan SARA (88.6%) merupakan dua bidang yang paling banyak dihujani hoaks. Hoaks berakibat negatif bagi korbannya. Ketika hoaks dialamatkan kepada pebisnis atau pedagang, omset mereka bisa turun. Ketika hoaks dialamatkan kepada individu atau kelompok, reputasi dan nyawa mereka terancam.
Bila Aku Jadi Menag
Seorang Menteri Agama tentunya perlu memerhatikan dengan baik adanya hoaks di masyarakat. Ketika sebuah hoaks menyasar masalah sosial, politik, atau ekonomi, bisa jadi hoaks tersebut memprovokasi pembacanya dengan membawa-bawa isu agama.
Pembaca yang bijak tentu akan tahu bahwa perilaku individu atau kelompok tidak dapat dipandang sebagai perilaku seluruh umat yang beragama sama dengannya, tetapi bagaimana dengan yang tidak?
Hal ini mengancam kerukunan antarumat beragama di negara kita. Berbeda dengan penegak hukum yang memandang hoaks dari sisi penegakan peraturan, seorang menteri agama akan menggunakan pendekatan religius dan humanis untuk menyelesaikan masalah ini.