Lihat ke Halaman Asli

Ucapan Syukur di Menara Peninsula

Diperbarui: 31 Maret 2016   07:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Diambil dari Menara Penisula | Dokpri"][/caption]Pagi ini pagi terakhir aku di Ibu Kota. Selama 3 hari mengikuti sebuah kegiatan simposium. Kegiatan yang berbeda karena dimulai dengan niat yang beda. Kegiatan yang terasa bermakna karena membutuhkan pengorbanan berbeda. Kegiatan yang berbeda karena tidak semua ditanggung oleh Negara.  Setelah melaksanakan ritual pagi aku mendekat di jendela kamar untuk melihat kota Jakarta. Aku tatap kota Jakarta dari lantai 21. Hamparan gedung yang menjulang tinggi pertama kali manyapu kedua mataku. Padatnya gedung dan perumahan terlihat menutupi bumi jakarta. Lalu lalang kendaraan melaju kencang membelah jalanan. Pemandangan yang biasa aku lihat selama ini. Tapi entah mengapa pada saat ini pikiran ini melayang jauh. Bukan kepada gedung yang megah dan tinggi, bukan kepada mobil mewah yang melaju kencang, bukan kepada sepeda motor yang saling menyalip. Pikiran tertuju kepada orang-orang yang sedang ada dalam mobil yang melaju. Pikiran ini tertuju kepada orang yang berada diatas kendaraan roda dua mereka.

Pagi itu jam masih menunjukan pukul 05.00. Biasanya saya masih berada dirumah pada pukul 05.00. Pukul 05.00 kadang masih kusibukan dengan melantunkan kitab suciku. Cengkrama dan canda dengan anak dan istriku kadang masih menghiasi pagi hariku. Atau kadang pukul 05.00 aku pakai mencuci mobilku yang sudah cukup berumur. Tapi hari ini aku melihat hal yang berbeda. Pukul 05.00 dari puncak Penisula kulihat orang sudah pada keluar menuju tempat kerja mereka. Pukul 05.00 kulihat kendaraan melaju kencang seakan takut terlambat mengantar tuannya sampai tujuan. Pagi itu langit Jakarta kelihatan terang. Pagi itu kota Jakarta tidak diguyur hujan. Seandainya hari itu langit Jakarta gelap dan disertai hujan tentunya akan semakin berat beban yang meraka rasakan. Sebuah aktivitas yang jarang saya lakukan. Kendaraanku biasanya mulai mengantar aku pukul 06.30. Kesabaran juga aku rasakan dari kendaraan yang setia mengantarkan aku. Kendaraanku tidak perlu melaju kencang, cukup dengan 45 s.d. 60 Km perjam. Sesuatu yang tidak aku lihat pada pagi hari itu dari puncak Menara Penisula.

[caption caption="Menara Penisula | Dokpri"]

[/caption]

Pikiranku melayang kira-kira jam berapa mereka pulang. Iseng aku bertanya dengan teman sekamar. Teman saya menjawab sesuatu yang sebenarnya sudah aku ketahui jawabannya. Orang-orang yang sekarang sedang berada dijalanan kota Jakarta, orang-orang yang sekarang sedang berada di dalam mobil yang melaju di jalanan kota jakrata, orang-orang yang sekarang sedang diatas kendaraan bermotor mereka bisa jadi baru sampai rumah jam 20.00 s.d. jam 22.00. Suasana yang sama juga mereka rasakan ketika mereka kembali dari tempat kerja menuju rumah mereka. Kendaraan mereka juga melaju lencang seakan takut terlambat mengantar sang tuan berpeluk dengan keluarga tercinta.

Suasana yang pasti jarang aku rasakan. Karena biasanya aku pulang dari kantor pukul 17.30. Kendaraanku hanya membutuhkan waktu 45 menit mengantar aku sampai pelukan keluargaku. Tawa, canda, tadzarus quran, membaca buku, mendampingi anak belajar, melaksanakan ragam aktivitas sosial masih bisa saya lakukan. Kalau dari sisi tidur bisa jadi sama, karena biasanya aku mulai memasuki kamar terbaiku pada pukul 22.00. Tapi tentunya ada suasanan yang berbeda karena aku memasuki dengan suasana yang ceria, sedangkan mereka banyak dari orang Jakarta yang memasuki kamar dengan wajah letih, dengan beragam masalah, dan tentunya dengan sebuah bayangan yang menakutan karena mereka harus bangun di pagi untuk melakukan sesuatu yang sama.

Dari Puncak Menara Penisula akhirnya aku bersyukur, aku bukan orang Jakarta.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline