Lihat ke Halaman Asli

Bung Amas

Kolektor

Cara Licik Meruntuhkan Demokrasi

Diperbarui: 22 November 2019   07:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Peta jalan demokrasi

SPIRIT demokrasi itu menghargai dan memuliakan nilai-nilai kemanusiaan. Bergerak atas etika, moralitas, bukan emosi. Demokrasi mengajarkan kolektifitas, mendidik rakyat untuk menghormati musyawarah mufakat.

Bukan melulu masuk pada kontes voting. Kemuliaan demokrasi sebetulnya disitu, menghargai kemajemukan. Tidak berbuat curang, apalagi merancang jurang untuk menjerumuskan orang lain. Beragam keistimewaan demokrasi itulah sebetulnya yang membuat para pendiri Negara ini tertarik mengadopsinya.

Demokrasi dianggap layak dan sesuai dengan kultur keindonesiaan kita. Indonesia yang kebiasaan warga pribuminya bekerja dengan konsep gotong royong tentu berkorelasi dengan demokrasi. Tapi, apa jadinya?. Sekarang demokrasi seperti menjadi instrument pemuas kebutuhan picik politisi tertentu.

Mereka yang berduit lebih terhormat posisinya dalam ruang demokrasi. Sementara rakyat miskin, kurang beruntung menjadi objek penindasan orang-orang kaya dalam berdemokrasi. Contohnya saja, jika pemilu tiba, politisi atau rakyat yang berduit membeli suara rakyat dengan politik transaksional. Setelahnya, mereka rakyat ini tidak dihargai lagi.

Wajah demokrasi kok seperti makin seram. Padahal idealnya demokrasi tidak begitu. Dalam tinjauan historis pun, demokrasi ini muncul dari jiwa kebersamaan. Dari oleh dan untuk rakyat, bukan dimonopoli. Demokrasi bukan menjadi alat bargaining para elit, atau mainan yang menjebak nasib rakyat.

Pemerintah sudah saatnya siuman. Jangan lagi terbawa skenario, rekayasa struktural yang membuat demokrasi menjadi jajanan. Jangan prosedur-prosedur demokrasi dijadikan hanya sebagai 'rutinitas', sebagai 'ritual' dan formalitas belaka. Lalu, hanya menguntungkan para elit pemerintah. Demokrasi jangan dikapitalisasi.

Segeralah dilakukan reposisi demokrasi. Perjalanan demokrasi yang dibelokkan, ditikung ditengah jalan, secepatnya diselamatkan. Tak boleh kita ikut membunuh masa depan demokrasi. Tidak bisa juga diam, dikala rakyat tengah diombang-ambingkan gelombang penghancuran demokrasi. Kesaksian kita merasakan dan terseret arus kejahatan itu harus ditata ulang.

Jika kita diam melihat demokrasi dikebiri. Bahkan dimutilasi, berarti kita ikut berkonspirasi merancang kematian demokrasi secara sadis dan bejat. Melalui realitas yang kita lihat, mestinya nalar sehat kita bangkitkan untuk teriak selamatkan demokrasi.

Tentu selamatkan dari tangan-tangan jahil para bandit. Mereka yang berniat buruk mencederai demokrasi dengan pamer kuasa dan bersikap otoriter, sombong, merampas hak-hak demokrasi rakyat harus dibantai habis. Bila kita belum punya cukup amunisi melawan, minimal kita menjaga diri agar tidak terbawa pengaruh buruk.

Politik itu bukan ladang memanfaatkan rakyat untuk kepentingan sendiri. Bukan pula politik menjalankan misi kapitalisasi. Segala hal di ruang politik dipandang sebagai kesempatan mendapatkan kapital (modal). Hasilnya, politik seperti ini mereduksi nilai kemanusiaan. Kapitalisasi politik menggeser solidaritas ditengah rakyat.

Ringkaanya politik bukanlah jalan untuk meraup kepentingan pribadi. Melainkan ladang pengabdian bagi politisi. Yang menjadi bias dan bahkan kacau dimedan politik kini karena politisi menjadikan praktik politik sebagai area mencari keuntungan ekonomis. Buat memperkaya diri sendiri, lalu mengabaikan kepentingan publik.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline