Lihat ke Halaman Asli

Deddy Daryan

Pemerhati pendidikan, menulis fiksi

Eskalasi Rindu, Memotret Pendidikan dari Dalam

Diperbarui: 25 Agustus 2019   12:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

24. Seperti Kena Tampar

 Hari perpisahan itu pun tiba. Acaranya dipusatkan di ruang aula sekolah, hasil penyulapan dua ruangan  yang dilepas dinding pembatasnya. Sehingga terlihat benar menjadi sebuah ruangan yang besar proporsional, untuk sebuah acara melepas kepindahan Pak Alius, yang membuat kami segenap warga SMP Masa Depan merasa sedih.

Ruang aula ini berada di tengah gedung utama berbentuk  huruf 'o' itu. Jika tidak ada acara semacam rapat dengan wali murid, maka fungsinya menjadi ruang kegiatan ekstra kurikuler.

Aku masih ingat waktu itu, dalam rapat musyawarah dengan wali murid, Pak Alius 'dibantai' habis-habisan oleh salah satu peserta rapat. Baru kali itu aku melihat  pak Alius tegang, dan merah padam wajahnya. Dapat dibayangkan orang setegar dan selembut pak Alius bisa sampai demikian ekstrim reaksinya.

Adalah  Bahami Tarman, salah satu peserta rapat itu. Ia adalah sebagai wali murid karena ada keponakannya yang masih kelas satu. Ia seorang bujangan, melihat  penampilannya, ia kritis dan energik. Rambut gondrongnya tak pernah absen dikuncir. Asli warga setempat. 

Selidik punya usut, ia drop out dari jurusan filsafat perguruan tinggi terkenal di Jogjakarta. Belum lama ia pulang kampung. Petantang-petenteng sehari-harinya di warung minuman pasar. Disukai anak-anak pasar, sesekali hadir di tempat kenduri berpakaian gaya ustadz. Berbicara kritis terhadap siapa saja yang ditemuinya.

Namun, seiring dengan perjalanan waktu, pamor Bahami Tarman merosot tajam. Berada didekatnya, orang-orang ambil sikap diam, 'menghindari balak'. Demikian komentar orang-orang kampung menyikapi perangainya, yang selalu mau menang sendiri jika bicara.

Siang itu, waktu rapat dengan wali murid berembuk untuk membangun dua lokal gedung baru, mengingat sangat urgen, sementara proposal ke kanwil tak kunjung tiba jawabannya, maka Pak Alius bersama komite sekolah mengambil inisiatif, semacam solusi alternatif untuk mengatasi kekurangan ruangan yang diperuntukkan sebagai ruang praktek bercocok tanam, sesuai dengan kultur lokal setempat.

Pada waktu sesi tanya-jawab, Bahami  mengangkat tangannya, bak aktifis mahasiswa militan. Sang moderator mempersilakannya untuk kesempatan pertama. Mengenakan celana levis belel, kaos oblong lusuh di atasnya, sang mahasiswa filsafat DO (drop out) ini mulai bicara, dengan terlebih dulu menguakkan rambut gondrongnya ke belakang.

"Bapak-bapak saudara-sandara sekalian yang terhormat, saya mau bertanya kepada bapak-bapak sekalian, sekolah ini milik siapa? Coba bapak-bapak renungkan, siapa yang paling bertanggungjawab terhadap pendidikan ini? Masyarakat yang masih menyedihkan ini kondisinya, atau pemerintah. Bukankah pemerintah yang harus memenuhi kebutuhan masyarakat. Tugas pokok pemerintah dan orang-orangnya melayani masyarakat. Bukan sebaliknya rakyat melayani pemerintah. Rakyat membayar pajak, sementara kerjaan orang-orang pemerintah apa; kemana hasil hutan, hasil tambang, hasil industri, yang melimpah ruah di negeri kita ini? Coba bapak-bapak renungkan sekali lagi!"

Mendengar kata-kata Bahami Tarman yang berbau provokatif ini, para peserta rapat seperti kena ilmu serep penjahat kelas menengah. Semua terdiam, lalu bergemuruh, seperti suara lebah yang air madunya dirampok sang penyarai.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline