Lihat ke Halaman Asli

Ruang Berbagi

TERVERIFIKASI

🌱

Toleransi Ditabur Mulai dari Keluarga, Subur bagi Bangsa

Diperbarui: 16 November 2020   10:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kunjungan silaturahmi anak-anak antaragama di Madiun (20/12/2019) - Kompas.com/Muklis Al Alawi

Setiap tanggal 16 November kita memperingati Hari Toleransi Internasional. Peringatan ini digagas oleh UNESCO sejak 16 November 1995 lalu. Tujuannya antara lain untuk menanamkan sikap hormat pada budaya, kepercayaan, dan tradisi. Juga untuk melawan intoleransi yang terus menggejala.

Bangga kisahkan toleransi Indonesia

Pengalaman bergaul dengan sejumlah rekan dari luar negeri membuat saya berkesempatan untuk mengisahkan keindahan dan keanekaragaman tanah air tercinta. 

Berdasarkan data BPS 2010, Indonesia memiliki 1.340 suku bangsa. Pada 2020, tercatat ada 718 bahasa daerah di Indonesia. Keanekaragaman agama dan kepercayaan juga sangat memperkaya Nusantara tercinta.

"Kamu dari Indonesia? Saya dengar negerimu berpenduduk muslim terbesar di dunia? Bagaimana orang nonmuslim dan muslim bisa hidup dalam damai di negerimu? Beda dengan situasi di negeri saya," demikian tanya seorang rekan.

Dalam hati, tentu ada sedikit kecewa dengan situasi intoleransi yang masih saja terjadi. Akan tetapi, hal ini tidak mampu menutupi rasa bangga saya yang membuncah sebagai warga Indonesia.

Rumah ibadah berdampingan di Desa Mopuy, Dumoga, Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara. Ada Masjid, Gereja dan tempat ibadah umat Hindu atau Pura. (Tribunmanado/Finneke Wolajan)

Toleransi dimulai dari diri dan keluarga sendiri

Pengalaman saya menunjukkan, sikap toleransi dimulai dan ditabur dari diri dan keluarga sendiri. Saya merasa sangat beruntung dibesarkan dalam keluarga bhineka. Juga bersekolah dalam konteks kebhinekaan.

Separuh dari keluarga besar ibu saya adalah pemeluk agama Islam. Sebagian paman dan bibi saya muslim dan muslimah. Ada pula yang Katolik dan Kristen. 

Tiap Lebaran, setidaknya sebelum pandemi terjadi, keluarga selalu rukun bersilaturahmi. Pula kala Natal, suasana rukun tercipta di dalam keluarga besar kami. 

Kala ada acara bernuansa keagamaan, misalnya doa atau ibadah, keluarga besar selalu bekerja sama. Di dapur, yang bekerja menyiapkan makanan adalah semua saja yang sedang tidak sibuk sembahyang sesuai agamanya. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline