Lihat ke Halaman Asli

Bob Bimantara Leander

Kalau gak di radar ya di sini

Masyarakat Indonesia: Mengonsumsi Berita Gratis, tapi Wartawan Dimaki

Diperbarui: 14 Januari 2020   11:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: radarmalang.id/Foto: Elfran Vido

Sudah lelah suruh keliling ke sana ke mari. Belum lagi disuruh ngefoto dan cepat-cepatan nulis. Karena apa? Biar berita kami jadi yang pertama dan jadi tercepat updatenya.

Hasilnya? Diledek para pembaca. Dibilang gak kompeten dibilang gak komplet informasinya. Dibilang banyak lagi. Intinya diejek.

Begitulah kerja jurnalis saat ini (wartawan online). Anyway, saya adalah satu dari sekian banyak jurnalis saat ini.

Mungkin beberapa bakal mengira itu keluh kesah mu saja. Semua kerjaan ya sulit. Jangan begitu. Jangan lebay.

Oke.

Begini para pembaca budiman. Saya akan menjabarkan kenapa berita online terutama tulisannya tidak begitu mendalam dan mungkin terkesan nyari sensasi.

Pertama, kami bekerja di media. Kata orang-orang, negara ini berdiri atas empat pilar atau lima lembaga.

Satu, eksekutif atau pemerintah. Dua, legislatif atau anggota dewan. Tiga, legislatif atau tukang buat peraturan. Biasanya kalian sebut Mahkamah Konstitusi (MK). Terakhir, ada media yang mana memberitakan dan sesekali menjadi watch dog dari ketiga lembaga lainnya.

Nah di sini masalahnya. Jika tiga lembaga pertama itu mendapat pasokan uang dari pajak negara, atau dibayar dengan APBN, lembaga yang bernama media ini tidak ada bayaran. Alias hidup sendiri.

Bayarannya dari mana? Macam-macam. Ada yang dari kontribusi pembacanya. Ada yang dari jualan oplak dan adapula yang dari iklan.

Nah, untuk kontribusi pembaca dan jualan oplak koran saat ini mungkin sulit untuk mendapatkannya. Khususnya di Indonesia.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline