Kamu pernah scroll TikTok, nemu video tentang perubahan iklim, terus langsung mikir, "Eh, ini penting banget"? Atau mungkin kamu pernah share postingan soal kesehatan mental, lalu ngajak teman ngobrol lebih dalam soal itu? Kalau iya, selamat—kamu udah jadi bagian dari aktivisme Gen-Z.
**
Dalam beberapa waktu terakhir, dunia menyaksikan gelombang demonstrasi yang dipimpin oleh Gen Z—generasi yang lahir di era digital, tumbuh dengan kesadaran sosial, dan tak segan menyuarakan ketidakadilan. Meski berbeda negara, isu yang mereka angkat punya pola yang mirip: korupsi, ketimpangan, dan pembungkaman suara.
Dulu, aktivisme identik dengan orasi dan spanduk. Sekarang? Bisa lewat meme, video lucu, atau bahkan outfit yang statement banget. Gen-Z tahu cara bikin isu berat jadi relatable. Kita bisa bahas privilage sambil pakai filter lucu, atau bahas keadilan sosial lewat puisi di caption.
Tapi jangan salah di balik gaya santai itu, ada keresahan yang nyata. Kita share karena peduli. Kita bikin konten karena ingin didengar. Dan kita tahu, satu postingan bisa jadi awal perubahan. Begitulah cara Gen Z mengolah swipe, share, march—mengubah keresahan menjadi gerakan, dari layar ke jalanan.
Mereka menyuarakan ketidakadilan lewat unggahan, menyebarkan solidaritas lewat media sosial, lalu melangkah nyata di jalanan seperti yang terjadi di Nepal, Inggris, dan Prancis—semuanya beresonansi dengan semangat Gen Z Indonesia yang lebih dulu menyalakan api perubahan lewat kreativitas, keberanian, dan suara yang tak bisa dibungkam.
Awal September 2025, pemerintah Nepal melarang 26 platform media sosial. Gen Z, yang sangat bergantung pada ruang digital untuk berekspresi, langsung bereaksi.
Sebuah video lama berisi pidato penuh semangat dari Abiskar Raut, seorang pelajar sekolah menengah di Nepal, viral di media sosial dan menjadi pemantik gelombang demonstrasi besar-besaran yang digerakkan oleh Gen Z di seluruh negeri.
Di balik gerakan ini, nama Sudan Gurung muncul sebagai tokoh sentral yang mengorganisasi aksi melalui LSM Hami Nepal, mengajak ribuan anak muda ke jalan menuntut keadilan, transparasi, dan pembebasan ruang digital.
**
Resonansi yang Sama, Bahasa yang Berbeda
Meski konteks lokal berbeda, ada benang merah yang menghubungkan semua gerakan ini:
- Kemarahan terhadap korupsi dan ketimpangan
- Penolakan terhadap pembungkaman suara, baik digital maupun fisik
- Penggunaan media sosial sebagai alat mobilisasi dan edukasi
- Simbol budaya pop sebagai ekspresi perlawanan (One Piece, meme, musik)
- Gerakan tanpa pemimpin tunggal—fleksibel, cair, dan sulit dipadamkan.