Lihat ke Halaman Asli

Riduannor

TERVERIFIKASI

Penulis

Cerpen: Pabrik Kayu

Diperbarui: 14 September 2025   10:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi Cerpen Pekerja Pabrik Kayu di olah menggunakan Canva (Dokumen pribadi)

Tahun 1985, di tepian Sungai Mahakam, pabrik-pabrik kayu berdiri kokoh seperti benteng industri yang tak pernah tidur. Bangunan beratap seng dan berdinding kayu tua itu di penuhi suara mesin pemotong yang meraung sejak subuh hingga larut malam.

Truk-truk pengangkut log kayu hilir-mudik di jalanan tanah merah, meninggalkan jejak lumpur dan aroma resin yang menyengat. Di dermaga, batang-batang kayu gelondongan mengapung di atas air, menunggu giliran untuk ditarik masuk ke jalur produksi. 

Di sungai,  para pekerja berdiri di atas batang-batang kayu gelondongan yang mengapung di permukaan air. Mereka tampak sibuk menjalankan tugas masing-masing. ada yang mencatat jumlah rakitan kayu yang datang, ada pula yang mengarahkan kayu-kayu masuk ke anak sungai kecil menuju pabrik kayu.

Di ujung aliran, kayu-kayu itu kemudian diderek menggunakan alat pengangkat untuk diolah melalui mesin-mesin pabrik. Beberapa pekerja terlihat berendam di air sejak menjelang subuh, menarik kayu dari aliran sungai dangkal, mengatur arah masuknya ke dalam jalur produksi.

"Ayo, Jono! Dorong batang yang besar itu ke kiri, biar enggak nyangkut di batu! teriak Udin mengarahkan.

"Siap, Din! Tapi arusnya makin deras, hati-hati di ujung sana!"

Parman, sambil berendam setengah badan juga berseru:

"Yang di belakang, tahan dulu! kita atur satu-satu, jangan sampai numpuk di mulut jalur!"

Dari atas gelondongan, Bang Mandor memberi perintah:

"Rakitan dari hulu udah mulai masuk! Siapkan derek, biar langsung diangkat ke pabrik!"

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline