Lihat ke Halaman Asli

Bisyri Ichwan

TERVERIFIKASI

Simple Man with Big Dream and Action

"Cairo Oh Cairo" Viral

Diperbarui: 6 Oktober 2020   23:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Wisata di Abu Simbel beberapa bulan sebelum Mesir Revolusi tahun 2011 (Foto : Bisyri)

"Mushibatu qowmin 'ala qowmin fawaidu". Saya mendengar pesan hikmah ini pertama kali dari Romo KH. Hisyam Syafaat pada saat mengikuti pengajian kitab Ihya' Ulumiddin setiap selesai shalat ashar di Pondok Pesantren Darussalam Blokagung, saat mondok dulu. Pesan itu berarti bahwa "Musibah suatu kaum, bagi kaum yang lain bisa menjadi keberkahan atau memberikan sebuah manfaat".

Dalam kasus sebuah negara, penjajahan negara Palestina adalah sebuah musibah, tapi bagi Israel itu adalah keberkahan. Dalam contoh kecil, musim hujan adalah musibah bagi penjual es campur, tapi bagi penjual minuman STMJ yang hangat adalah sebuah berkah. Begitu seterusnya.

Pada bulan Januari tahun 2011, saat itu saya masih mengikuti perkuliahan di Universitas Al-Azhar Mesir, seperti biasa tidak ada yang istimewa. Berangkat dari rumah di Toubromly memakai bus 926 di Mahattah Akhirah bersama teman-teman pelajar ma'had Al-Azhar yang rata-rata dari Rusia.

Usai mengikuti perkuliyahan hingga siang hari, teman akrab saya hafidz dan rajif mengajak terlebih dahulu untuk makan siang di warung biasanya yang berada di pintu belakang Al-Azhar untuk membeli Tho'miyah bil baidh, makanan khas Mesir. Warung ini tidak pernah sepi dari pembeli, kami semua yang beli tidak ada kursi untuk duduk makan, silakan cari sendiri di mana saja tempat, yang penting bisa makan.

Biasanya saya dan hafidz, usai disodori makanan yang sudah disiapkan, akan mencari tempat untuk makan di tangga flat apartemen dekat Maktabah penjual buku yang berada dekat warung tadi. Di sana, sambil makan kami sering mengobrol sesuatu yang kebanyakan tidak jelas, alias tidak ada temanya, palingan hanya seputar urusan kuliyah dan film-film terbaru yang bisa ditonton di rumah saat malam hari.

Setelah shalat dhuhur berjama'ah di masjid Al-Azhar yang bersebelahan langsung dengan Universitas Al-Azhar dan berhadapan dengan masjid Sayyidina Husein yang berada di seberang jalan, kami memutuskan untuk pulang ke rumah masing-masing. Saya berjalan menyusuri toko-toko souvenir, makanan, hingga ashir ashob, minuman perasan tebu hingga sampai di mahattah Darrasah, tempat mangkalnya bus yang akan mengantarkan ke wilayah-wilayah di Cairo.

Bus yang saya cari adalah 80 Coret. Bus ini menjadi bus favorit mahasiswa Al-Azhar yang bertempat tinggal di kawasan Nasr City. Tidak seperti biasanya yang harus berebut untuk mencari kursi. Hari ini, jalanan sepi, para penumpang bus yang menunggu juga tidak banyak.

Tidak ada fikiran apapun hingga saya sampai di rumah dan membuka layar televisi Al-Jazeera. Rupanya lengangnya jalanan Cairo yang kami lalui mulai dari Darrosah, Nadi Sikkah, Hayyu Sadis, Hayyu Sabi', hingga Hayyul Asyir diakibatkan oleh keadaan Mesir yang mulai tidak normal seperti biasanya.

Televisi Al-Jazeera menayangkan secara live demonstrasi yang terjadi di kawasan Tahrir Square yang menjadi Bundaran HI-nya kota Cairo. Hingga menjelang maghrib, semakin banyak para demonstran yang hadir. Polisi mulai kewalahan untuk mengaturnya.

Saat malam tiba, kerusuhan terjadi. Gedung yang berada di sekitar Tahrir mulai dirusak oleh massa, bahkan ada yang dibakar. Museum Ramses yang menyimpan seluruh benda-benda purbakala Mesir, termasuk di dalamnya ada sekitar 30 mumi dan diantara mumi itu adalah mumi Raja Ramsis II yang konon adalah fir'aun zamannya Nabi Musa juga ikut dijarah dan hendak dibakar oleh massa.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline