Lihat ke Halaman Asli

Rebelusi (2)

Diperbarui: 25 Februari 2018   03:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Hello darkness, my old friend ...I've come to talk to you again ... (The sound of silence, Simon and Garfunkel, 1964)

Ilusi ..., pada awalnya mungkin hanya merupakan sebuah gejala alamiah yang terjadi di alam, yang kemudian tertangkap oleh mata. Dimana "data" yang didapat kemudian dikirim ke otak yang berupaya menafsirkan/memaknai/meng-katalog-kannya berdasar data-data yang sebelumnya sudah mengada dalam otak manusia. Tetapi itu belum dapat berarti bahwa tafsiran/makna/hasil peng-katalog-an itu selalu benar. 

Karena ada hal-hal lain, terkait dengan "kenormalan" otak itu sendiri (menyangkut fisik ataupun data-data yang telah ada sebelumnya),  "kenormalan" dari indera mata sebagai alat yang berfungsi untuk "mengabadikan" sesuatu yang dilihat, dan tentunya obyek yang sedang diamati itu sendiri. Terkait ini bisa di google mengenai perihal "neuroscience of illusion". Dimana perkara "ilusi" ini sebetulnya bukan barang basi lagi,  dimana Socrates pun sampai bilang ... "all I know is that I know nothing".  

Sekali lagi, permasalahannya bukan semata di otak atau mata, tetapi juga dari obyek yang diamati itu sendiri. Terkait dengan ilusi yang dapat timbul dari obyek itu sendiri, mungkin dapat kita ambil contoh kasus fatamorgana. Dimana itu terjadi, tidak semata disebabkan mata dan pikiran seorang manusia yang mungkin dituding sedang tidak normal, namun juga karena adanya kondisi-kondisi alamiah tertentu yang menyebabkannya. 

Lha ... Kalau dari kondisi alam sendiri, dapat "menyajikan" timbulnya sebuah ilusi, dapatkah kiranya seseorang mengklaim bahwa ia mengetahui seluruh kebenaran yang ada di muka bumi ini, tanpa menguak/membuka tabir ilusi tersebut ? :) Apakah keinginan seseorang itu tidaklah jua merupakan sebuah ilusi semata ? Seperti seseorang yang ingin menelan alam semesta ini, tetapi tidak menyadari bahwa ia sedang berada di dalamnya. 

Disini kita bicara mengenai ilmu pengetahuan, yang mana berfungsi sebagai alat untuk menguak/membuka tabir tersebut. Dan tentunya dengan proses pembukaan tabir yang berlangsung, seiring sejalan dengan makin berkembangnya ilmu pengetahuan, maka ada banyak hal yang dulunya menjadi sebuah mitos mistis, setelah dibuka tabirnya, kemudian didapati bahwa itu semua tidaklah bermakna/dapat dimaknai  sebagaimana dulu orang memaknainya. Pula, ketika didapati bahwa ilusi itu tidak sebatas pada jenis visual saja. Termasuk di dalamnya adalah "rasa".

Terkait masalah "rasa" ini, kiranya kemudian ditemui persinggungan antara yang "old" dan yang "now". Tidak percaya ? Bagaimana dengan rasa "hormat" ? Bagaimana dengan "kasih" ? "Iba" ? "Bahagia ketika melihat sesuatu bahagia" ? "Ketenangan" ? Dan kiranya masih banyak lagi. Dimana orang dulu memaknainya sebagai sesuatu yang bersifat sakral, tetapi dengan pengetahuan yang ada, maka itu dimaknai sebagai sesuatu hasil berbagai reaksi kimia dalam otak.  Terkait yang terakhir, betulkah demikian ?

Bila dijawab betul, maka ... selamat datang pada dunia ilusi ala jaman "now". He he he ...

Disebabkan ... bila "itu cuma dimaknai sebagai itu", ada faktor yang luput dari perhatian. Faktor yang dimaksud adalah "apa" yang menjadi tujuan keberadaan dari berbagai reaksi kimia yang kemudian menghasilkan rasa-rasa tersebut. Ini hampir sama saat kita meneliti sesuatu (secara terfokuskan pada sesuatu itu) di alam bebas, dan kemudian membuat suatu hasil kesimpulan, tanpa menyertakan fungsi/manfaat/kegunaan/tugas dari sesuatu yang kita amati terhadap ekosistem secara keseluruhan. 

Dimana itu bisa mendatangkan suatu dampak yang negatif bagi ekosistem itu, bila kemudian kita menganggap sesuatu itu bernilai/bersifat negatif ... menurut persepsi manusia, dan memutuskan untuk menghilangkannya dari muka bumi ini.

Rebelusi dalam hal ini, tidak/bukan merupakan upaya untuk membuka sebuah tabir ilusi dan kemudian menggantikannya dengan sesuatu yang bersifat "kekinian".  

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline