Pernah lihat postingan HRD atau kepala divisi perusahaan yang curhat soal kelakuan pegawainya? Kadang mereka menulis panjang soal betapa susahnya cari karyawan yang loyal, disiplin, atau sesuai kebutuhan.
Sebaliknya, para pencari kerja juga tak kalah lantang mengeluhkan soal proses rekrutmen yang dirasa berbelit atau tidak transparan. Tapi pernahkah kita berpikir: jangan-jangan, masalahnya justru ada di proses rekrutmennya sendiri?
Selama ini kita sering mendengar keluhan dari satu sisi saja. Namun, di balik meja wawancara itu sebenarnya ada drama yang lebih rumit daripada yang terlihat.
Ya, HRD dan user (manajer atau kepala divisi) sering kali punya sudut pandang yang berbeda saat memilih kandidat. HRD bilang:
"Orangnya potensial, attitude bagus, bisa berkembang." Sementara user berkomentar, "Tapi kayaknya nggak cocok sama tim kami. Skill-nya kurang nendang."
Nah, siapa yang benar? Lebih tepat lagi: siapa yang sebenarnya paling tahu kebutuhan tim?
Cerita Lama yang Masih Terulang
Bagi kita yang sudah cukup lama bekerja, pemandangan semacam ini mungkin terasa biasa. Bahkan ada yang bilang, "Kalau HRD sudah setuju, user belum tentu cocok. Kalau user sudah cocok, HRD malah rewel." Kenapa bisa begitu? Karena HRD dan user memang punya cara pandang yang berbeda dalam menilai kandidat.
HRD sering kali berfokus pada soft skill, budaya kerja, dan potensi jangka panjang. Sedangkan user --- yang akan bekerja langsung dengan kandidat --- lebih menekankan soal hard skill dan hasil kerja nyata. Di sinilah benturannya. Kandidat yang menurut HRD 'berbakat' belum tentu siap tempur di medan kerja sesungguhnya.
Masalahnya, komunikasi antara HRD dan user kadang setengah-setengah. Yang satu merasa paling tahu soal "orang", yang satunya lagi merasa paling tahu soal "kerjaan". Kalau dua-duanya jalan sendiri-sendiri, jangan heran kalau hasil rekrutmennya sering mengecewakan.