Bisa dibayangkan sebuah negara di mana jumlah kartu SIM yang beredar melampaui jumlah penduduknya sendiri. Kedengarannya seperti skenario dari film fiksi ilmiah, tetapi itulah realitas yang sedang kita hadapi. Pada Kamis, 15 Mei 2025, Menteri Komunikasi dan Digital, Meutya Hafid, mengungkapkan bahwa saat ini terdapat sekitar 315 juta kartu SIM yang aktif di Indonesia. Sementara itu, jumlah populasi Indonesia baru berada di kisaran 280 juta jiwa.
Selisih sebesar 35 juta kartu SIM itu tentu bukan angka yang bisa dianggap sepele. Di balik kelebihan tersebut, tersimpan potensi ancaman serius: adanya penyalahgunaan data pribadi, praktik kriminal digital, dan makin menjamurnya panggilan serta pesan spam yang meresahkan jutaan warga.
Dan lebih mencengangkan lagi, ada laporan dari perusahaan keamanan digital asal Amerika Serikat, dalam Global Call Threat Report 2023, menyebutkan bahwa Indonesia adalah negara dengan tingkat spam call tertinggi kedua di dunia, yakni sebesar 56,5 persen dari seluruh panggilan yang diterima masyarakat. Indonesia hanya terpaut tipis dari Chile (57 persen), dan berada di atas Argentina, Hong Kong, serta Brasil.
Fakta-fakta ini memberi sinyal kuat bahwa sistem komunikasi seluler kita sedang menghadapi persoalan mendasar---bukan soal sinyal atau jaringan, melainkan soal regulasi, keamanan, dan ketertiban identitas digital.
Ironi Digital: Koneksi Melimpah, Keamanan Longgar
Seiring kemajuan teknologi dan transformasi digital yang semakin masif, masyarakat Indonesia semakin tergantung pada layanan telekomunikasi. Aktivitas ekonomi, pendidikan, kesehatan, bahkan layanan pemerintahan, kini tak terlepas dari gawai dan jaringan seluler. Namun sayangnya, ketersediaan layanan tidak diiringi dengan sistem pengawasan dan perlindungan yang memadai.
Jumlah SIM card yang melebihi populasi menggambarkan dua hal: tingginya permintaan atas konektivitas, dan longgarnya sistem distribusi serta verifikasi identitas pelanggan.
Kepemilikan lebih dari satu kartu SIM oleh satu individu memang bukan hal yang melanggar hukum. Banyak masyarakat yang menggunakan kartu berbeda untuk urusan pekerjaan, bisnis online, hingga berburu paket data murah. Namun, tanpa pembatasan dan pengawasan, kondisi ini membuka ruang bagi manipulasi identitas, penggandaan data, dan penyalahgunaan oleh pihak tidak bertanggung jawab.
Menteri Meutya Hafid menyadari hal ini. "Ketika kita mengatur itu bukan ingin menyulitkan masyarakat, di antaranya kita meminta kepada operator untuk menegakkan bahwa per-NIK itu maksimal tiga (kartu SIM). Itu harus dilakukan pemutakhiran data oleh operator," jelas Meutya di Kompleks Istana Kepresidenan.
Bahaya Nyata: Spam Call dan Kejahatan Siber