Lihat ke Halaman Asli

Anton Bele

PENULIS

Sesama Saudara

Diperbarui: 8 Januari 2017   22:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Dua kata ini sangat lazim dipakai dalam pergaulan harian.  Sesama, sama-sama. Saudara, satu keturunan. Semua manusia, siapapun dia, adalah sesama. Sama-sama manusia. Karena sama-sama manusia, maka satu turunan, entah jauh atau dekat. Bertolak dari dua kata ini, tidak ada satu manusia pun yang berani berkata bahwa dia itu bukan sesama saya, dia itu bukan saudara saya.

Seorang Ahok dimusuhi, sama artinya, sesama saudara yang saling memusuhi. Seorang Habib Rizieg dimusuhi, sama artinya, sesama saudara yang saling memusuhi. Kita terlalu gegabah mengatakan dia bukan saya, saya bukan dia. Padahal dia dan saya adalah sama-sama manusia, sama-sama bersaudara. 

Ada tiga jarak yang sering dipakai oleh kita manusia untuk menyatakan bahwa saya lain dari dia dan dia lain dari saya. 

Jarak yang pertama, ialah: darah. Hubungan darah selalu dipakai untuk membentang jarak antara kita sesama manusia ini. Dia dan saya satu turunan, entah saudara kandung atau saudara sepupu. Kami ada hubungan dekat. Hubungan darah dipakai untuk mengatakan bahwa saya dan dia bukan satu turunan, jadi dia bukan saudara saya, saya bukan saudara dari dia. Jadilah jarak antara saya dan dia. 

Jarak yang kedua, ialah: daerah. Sering sekali kita manusia ini berkata, kami satu daerah. Jadi dia saudara saya karena sedaerah. Dia bukan saudara saya karena kami bukan sedaerah.  Beda daerah asal, maka dia bukan saudara saya.

Jarak yang ketiga, ialah: darma. Saya dengan dia satu kantor, maka dia saudara saya. Tugas atau karya atau darma menyatukan orang yang bukan sedarah dan bukan sedaerah. Di kapal laut, para anak buah kapal hidup bersaudara karena mereka sama-sama mendarma-baktikan diri untuk bekerja sebagai anak buah kapal dan mendapat rezeki dari pekerjaan itu.

Seharusnya tiga jarak ini tidak boleh memisahkan kita manusia dan menjadi sebab untuk bermusuhan. Kita manusia, semuanya sedarah, sedaerah, sedarma. Tidak boleh bermusuhan apapun alasannya. Negara dengan negara hanyalah batas wilayah. Tidak boleh ada permusuhan antara warga negara yang satu dengan warga negara tetangga. Penganut Agama yang satu tidak boleh bermusuhan dengan penganut Agama yang lain. Namanya manusia, yah, sedarah, sedaerah, sedarma. Kalau ditelusuri, namanya manusia, berasal dari Pencipta yang satu dan sama, tinggal di alam semesta ini secara bersama, dan berdarma-bakti untuk mendapat rezeki dan bisa hidup. Itulah manusia. Kalau salah, yah dihukum tanpa ada kebencian. Kalau benar, dihargai. Hukum ditegakkan secara adil, tanpa ada embel-embel kebencian atas dasar beda darah, daerah dan darma. Dalam hal Agama, setiap kita manusia harus menyadari bahwa tradisi, sejarah, ajaran dianut yang oleh kita, bermakna dalam kesadaran kita untuk mengabdi Pencipta selama kita hidup. Tidak boleh memakai Agama untuk menciptakan jarak antara kita sesama manusia ini sehingga perbedaan Agama yang kita anut menyebabkan saya bukan sadara dia, dan dia bukan saudara saya karena kami dua beda Agama. 

Harap apa yang sedang hangat terjadi di Jakarta saat ini, kembali direnungkan oleh setiap kita di Indonesia ini untuk segera dicari jalan ke luar atas dasar kesadaran tentang dua kata ini:  sesama saudara.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline