"Apakah tujuan kita mengajar hanya untuk menyampaikan materi, atau membentuk manusia seutuhnya?"
"Stecu-stecu... stecu-stecu..."
Suara riuh anak-anak menggema di kelas. Satu per satu siswa berdiri, bergoyang tanpa malu, tertawa bersama, mengajak yang lain larut dalam suasana. Christopher yang biasanya pasif berubah jadi pemimpin senam dadakan. Saya hanya berdiri di pojok kelas, tersenyum. Siang itu, ruang belajar kami hidup bukan oleh buku atau slide PowerPoint, tapi oleh rasa percaya dan suasana yang aman.
Pertanyaan di atas kembali menggema dalam benak saya. Di tengah tuntutan kurikulum, asesmen, dan administratif yang kadang kaku, mudah sekali lupa bahwa siswa bukanlah "tabung kosong" yang perlu diisi. Mereka adalah individu dengan mimpi, emosi, dan potensi besar. Di sinilah letak urgensi pembelajaran mendalam bukan sekadar menyampaikan, tapi memuliakan.
Memaknai Ulang Tujuan Belajar
Ki Hadjar Dewantara pernah menegaskan,
"Anak-anak hidup dan tumbuh sesuai kodratnya sendiri. Pendidik hanya dapat menolong dan menuntun tumbuhnya kodrat itu."
Ini bukan sekadar kutipan usang dari buku pedagogi. Ini adalah prinsip yang seharusnya menghidupkan setiap ruang kelas. Siapa sangka, justru sebuah lagu TikTok yang viral seperti "Stecu-stecu" bisa menjadi gerbang menuju pembelajaran bermakna?
Ice Breaking: Lebih dari Sekadar Pemanasan
Siang itu, pelajaran Bahasa Indonesia di kelas 9 membahas teks deskripsi materi klasik yang sering dianggap membosankan. Namun suasananya berbeda. Sejak awal semester, kami menyepakati bahwa setiap pertemuan diawali dengan ice breaking, dan uniknya, semua kegiatan itu dirancang oleh siswa sendiri.
Hari itu giliran kelompok "Langit Cerah" memimpin. Mereka memilih senam kecil dengan lagu jenaka "stecu-stecu." Saya hanya memberi anggukan, dan mereka mulai.
Ternyata yang terjadi setelahnya melampaui ekspektasi.