Lihat ke Halaman Asli

Band

TERVERIFIKASI

Let There Be Love

2 Kegagalan dari Sebuah Derby Liverpool-Everton: Gagal Juara dan Degradasi

Diperbarui: 25 April 2022   15:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Frank Lampard di laga Liverpool vs Everton. (Foto: Reuters) sumber: bola.okezone.com

Di dalam derby Merseyside ke-291 Minggu kemarin di Anfield, Everton masih selalu bermain full power, dengan fokus geraknya hanya pada bola sehingga miskin pergerakan tanpa bola, ini yang salah dari pelatih Frank Lampard gelandang Chelsea masa silam. 

Everton bukanlah Chelsea. Everton adalah kesebelasan anak lelaki berdarah pejuang yang tidak kenal takut dengan semangat yang berlebihan, melatih The Tofees haruslah dengan meredam semangat yang eksesif dengan taktik dingin dan cerdik, merubah spirit besar ini menjadi mesin yang seimbang, ini yang dilakukan pelatih flamboyan David Moyes saat mengangkat pasukan Merseyside ini di periode lalu.

Too much power with shortage scheme, Everton terlalu polos untuk menendang dan memasukkan bola ke gawang lawan dengan cukup 1 atau 2 jagoannya. 

Ini sepakbola kuno yang sudah tertinggal jauh dari sepakbola modern yang padat skema dan matrix pitch dengan pemain-pemain yang menjadi khas dan multi tasking. Everton tidak berkembang, permainannya begitu linear, hanya 1 atau 2 arah operan bola yang bisa tertulis di papan lapangan, membuat pemainnya kehilangan imaji. 

Pelatih Frank Lampard mesti menyadari  dia harus membuat papan di meja pelatihan ataupun ruang ganti bagaimana membagi bola dengan  panah-panah arah yang banyak. Bek kiri Vitaliy Mykolenko dan Anthony Gordon adalah potensi kekuatan flank kiri Everton yang  memiliki daya rusak  pertahanan Liverpool yang di kawal oleh Joel Matip. 

Sayang mereka bermain individu termasuk forward  de Andrade Richarlison, sehingga gampang terbaca oleh pasukan belakang yang digalang Virgil van Dijk. Memang tidak enak menonton pola bermain Everton, para pemainnya bergerak sendiri-sendiri sehingga banyak meninggalkan ruang kosong yang mestinya diisi pemain lain dengan pergerakan tanpa bola. Barangkali pelatih Franky Lampard adalah salah satu pelatih yang miskin imajinasi, mungkinkah?

Bandingkan  saja dengan tembok papan seorang Guardiola atau Jose Mourinho, betapa penuhnya gambar dengan arah-arah panah dari seorang pembagi bola di lapangan, dan itu bukan hoax tetapi dapat dilihat langsung di atas pitch, bahwa goresan arah-arah panah yang mereka lukis benar adanya dan terjadi di rumput pertandingan.

Kalo begini terus, Everton akan drop dan masuk jurang degradasi serius untuk pertama kali dalam 68 tahun, kasian banget, padahal mereka memiliki pemain-pemain keren dengan postur ideal, kaki-kaki mereka begitu kuat dan tendangan rata-rata mereka sangat menggetarkan. Richarlison, Gordon, Gray dan Mykolenko memliki tendangan geledek dari jarak yang jauh. 

Begitu juga dengan center back yang rapat dari Keane dan Holgate dan palang pintu Jordan Pickford adalah keunikan Everton di belakang. Mereka adalah salah satu tim penahan pantang menyerah dan tidak cengeng, dengan kiper Pickord yang berada dimana-mana seperti laba-laba, juga tak henti ngoceh dengan mimik lucu. 

Tidak mudah menembus mereka kalo itu bukan merupakan sebuah bola keberuntungan, seperti goal aneh  dari sundulan Divock Origi yang mendapat umpan ngaco dari winger Luis Diaz yang melakukan tendang volley parabola tanpa tujuan menghujam ke tanah dan memantul ke kepala Origi. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline