Lihat ke Halaman Asli

Band

TERVERIFIKASI

Let There Be Love

Saat Pemain Elit Portugal Gagal Melawan "Kepala Batu" Hongaria

Diperbarui: 16 Juni 2021   16:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Nomor 16 : Renato Sanches, Sumber: PortuGOAL.net

Christiano Ronaldo, Bernardo Silva, Bruno Fernandes dan Diogo Jota menyipitkan mata menatap langit Budapest  di sore berawan, dengan suhu nyaman 20 derajat dan sepoi yang bersahabat. Merahnya Puskas Arena Stadium yang beraroma mutakhir seakan memanggil keempat jagoan dari kasta tertinggi Italia dan Inggris pro, sebagai elit ke dalam "grup maut" kejuaraan Eropa 2020 ini. 

Sementara  pelatih gaek Fernando Santos sang pemuncak pelatih rekor di Liga Primeira tampak "take it for granted" terhadap keempat punggawa Seleccao das Quinas ini, seakan mereka memiliki hak untuk memberikan harapan Portugal.

Namun ternyata Hungary adalah orang-orang kuat dan tinggi, membuat pintu gerbang yang tidak bisa dilewati, sehingga umpan-umpan Portugal baik dari samping dan depan menjadi tidak efektif. Penetrasi pun mental karena begitu sesaknya pertahanan pasukan Puskas ini.

Hanya dua kali Portugal mengancam saat Jota memaksa kiper Hungary, Gulacsi dua kali melakukan penyelamatan penting, selebihnya adalah gerakan monoton dan kaku dari putra kesayangan Manchester United, Bruno Fernandes dan Bernardo Silva si anak emas Pep. sedang mega bintang, Ronaldo sendiri seperti menjadi sepi ketika secara bergantian di lapis oleh center back Hungary, Orban dan AT Szalai yang rigid.

Kepedean Portugal semakin mencerminkan permainan yang cenderung membosankan dengan berkali-kali umpan lambung  panjang yang seperti mengisyaratkan sepakbola spekulasi dan sepakbola gugup. Lini tengah Portugal menjadi berongga ketika center midfielder William dan gelandang kanan Danilo ikut bermain tinggi. Memang hingga setengah jam Hungary bisa dibilang tidak berbuat apa apa selain membuat gerbang.

Sampai saat kapten bongsor Hongaria menyundul tendangan bebas langsung ke pelukan Rui Patricio, Portugal baru menyadari ada yang kurang beres dengan strategi mereka. Apalagi ketika pemain pengganti Szabolcs Schon melepas tendangan keras merobek margin gawang kiri Patricio. Kekagetan ini memicu kekacauan orang-orang Hongaria yang sempat menyalakan suar ketika wasit Cuneyt Cakir menganulir skor karena offside. Namun ini cukup menganggetkan Ruben Diaz tonggak Citizens yang penuh wibawa menjadi limbung dengan melakukan beberapa "kekerasan" untuk menghentikan kepala batu Hongaria.

Untuk mengubah Portugal terjerumus kedalam desperate, harus ada yang dilakukan Bos Santos untuk memenangkan gengsi, atau Portugal akan menjadi medioker dengan gemerlap bintang-bintangnya. Mencoba Ruben Diaz naik menjadi playmaker sebagai pivot tampak dicoba namun tampak aneh dan canggung. 

Tapi pelatih Fernando Santos mulai menurunkan keras kepalanya dengan keyakinan gala star Portugal masih bisa diagungkan, dengan mengganti penyerang Silva dengan penyerang Silva yang lain di menit ke 71, Bernardo Silva mesti menyerahkan levelnya kepada Rafa Silva. 

Meski belum berpikir itu bukanlah jalan ter "jos", mengganti penyerang dengan penyerang adalah mempertahankan kebintangan, bukan memenangkan pertandingan. Dalam otak saya dan mungkin penonton lain saat Portugal buntu, adalah memasang midfield yang solid, playmaker sekaligus breaker yang bisa membuka dan menarik overload akan sesaknya pertahanan Hongaria.

Memang terlihat dengan masuknya Rafael Silva bintang Benfica ini cukup mampu membuka serang yang tadinya terengah-engah. Namun problem utama tidak terpecahkan, sampai Bos Santos eling dan mengganti Jota dengan Andre Silva dan midfilder William Carvalho dengan Renato Sanches. 

Nama terakhir inilah yang menjadi kunci pembuka gerbang rapat Hongaria. Seorang Sanches tercatat sebagai anak ajaib sepakbola Portugal, dialah pemain terobosan terbaik dan golden boy Benfica di usia belianya. Dia juga menjadi anak emas UEFA Euro 2016 lalu. Meski sempat terlempar ke dasar jurang prestasi di Munich dan Swansea, dia bangkit dan menjadi pusat di kemenangan Lille sebagai juara Ligue-1 pertamanya selama sepuluh tahun pada 2021.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline