Lihat ke Halaman Asli

Gasak Semua Gepeng, Pemerintah Tidak Realistis

Diperbarui: 27 November 2015   15:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 [caption caption="Baliho, media sosialisasi Perda DIY No. 1 Tahun 2014, ihwal penanganan Gepeng. Dok Bewe"][/caption]

Gelandangan dan pengemis (gepeng), secara konstitusional menjadi tanggungjawab negara. UUD 1945 menjamin hal itu. Di tingkat opersional, teknis pembagian kewenangan cukup jelas. Kalau ada gepeng mati, yang ngurusi Dinas Sosial. Tetapi, untuk yang berkeliaran di jalan dan di tempat umum, yang berhak menggaruk adalah Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP)

Dwi Warna Widi Nugraha, Kepala Dinsos Nakertrans Gunungkidul dengan tegas mengatakan hal itu di kantornya, Jumat 27/11/2015, terkait dengan implementasi Perda No. 1 Tahun 2014, tentang penanganan gepeng.

Disodori fakta adanya adanya gepeng setengah menggila, yang dalam kehidupan sehari-hari nekad menggepeng, dia menjawab tegas. “Kalau pihak keluarga ikhlas, subyek yang menggepeng menjadi tanggungjawab negara. Mereka akan ditarik dan dirawat di RSJ.”

Persoalan tidak sesederhana yang dipikir Dwi Warna. Di kota Wonosari, boleh dibilang mereka menghilang dari sipang 3 dan 4. Operasinya bergeser, blusukan ke warung-warung makan.

Mereka menggepeng dengan modal pita suara lumayan sempurna. Audio dipermanis dengan musik bukan hanya akustik, tetapi elektrik terkemas dalam format MP 3 versi karaoke, lengkap dengan mikophone harga ratusan ribu. Tetapi tidak jarang, ada juga yang hanya modal kencrung atau uke lele, namun kualitas suara yang tak kalah hebat.

Martini, salah satu pemilik warung lotek tengah kota Wonosari mengatakan, kualitas suara pengamen itu memang bagus. “Kadang gak sampai hati kalau memberi Rp 100,00,” akunya.

Ibu satu anak ini tidak paham kalau Gubernur DIY mulai tahun 2014 telah memasang jaring hukum untuk menjerat gepeng berkedok penyanyi.

Sri Sultan HB X, bersama Untung Sukaryadi, Kadinsos DIY melalui sebuah baliho raksana berpesan kepada masyarakat. “Jangan memelihara perilaku hidup menggelandang dan mengemis di jalanan atau di tempat umum. Denda Rp 10 juta, kurungan 6 minggu bagi peminta-minta, denda Rp 1 juta kurungan 10 hari, bagi pemberi, “demikian Gubernur Bilang, rujukannya Perda DIY No. 1 Tahun 2014.

Winardi, seorang mahasiswa salah satu universitas di Yogyakarta yang kebetulan sedang menyiapkan skripsi masalah sosial menilai, aturan itu tidak bakal pas dikenakan untuk gepeng yang memiliki keahlian tarik suara.

Alasan Winardi sederhana. Gepeng yang melengkapi diri dengan alat udio sederhana tapi canggih itu, harus dihargai sebagai sebuah kreatifitas. Dia bukan ahli di bidang pengemisan. Dia lihai di bidang tarik suara, cuma nggak ada kesempatan untuk mengembangkan keahlian.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline