Lihat ke Halaman Asli

Bambang J. Prasetya

Praktisi Media Seni Publik

Meretas Generasi Transformatif Televisi Publik Era Revolusi Industri 4.0

Diperbarui: 3 Agustus 2022   09:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dok Kompas #28

"Televisi seperti layaknya perpustakaan, ada banyak buku pengetahuan di dalamnya, tapi anda harus menyeleksi dan memilih apa yang perlu dan penting untuk dibaca."
(David L. Wolper )

Adagium penerima Pulitzer dan Academy Awards 1948 itu, bisa jadi tak sempat membayangkan bahwa new media dikemudian hari, bukan lagi didominasi televisi seperti di eranya. New Media perannya berangsur tersubstitusi oleh sosial media digital online.

Betapapun sosmed selama wabah pandemi 2019 - 2022 justru menjadi penyintas ifondemik. Tak kurang WHO menyebutnya bahwa Infodemik adalah gelombang informasi berlebihan tentang suatu masalah. Kemudian menyulitkan para pemangku kepentingan melakukan identifikasi solusi secara akurat. Penyebabnya tak lain, sebagian besar dilakukan oleh meruahnya informasi di media sosial.

Lazimnya silang sengkarut carut marut informasi di era keterbukaan semacam ini. Infodemik dapat menyebarkan misinformasi, disinformasi dan rumor selama keadaan darurat. Infodemik dapat menghambat respons, menciptakan kebingungan dan ketidak percayaan di masyarakat semakin akut. 

Entah disebabkan oleh ruwetnya informasi yang berseliweran di dunia maya (dumay) tersebut, ataukah dipengaruhi faktor kepentingan lain, jika kemudian Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran pun sempat menuai sorotan publik. Setelah adanya gugatan uji materi oleh dua stasiun televisi di bawah MNC Group, RCTI dan iNewsTV.

Jika gugatan uji materi UU Penyiaran ini benar dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Siaran langsung berbasis internet di Instagram (IG Live) hingga Youtube bakal terancam kukut. Meski tidak semua ketentuan dalam UU ini yang digugat, melainkan hanya pasal 1 ayat 2. Betapapun semua proses itu tidak bisa dibebaskan dari dugaan kapitalisasi yang menyelundup atas nama reduksi kompetisi kebebasan informasi.

Beberapa waktu terakhir topik lain yang tak kalah hangat di kalangan pegiat media digital pun menyeruak. Sejalan adanya kebijakan pemberlakuan Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) lingkup privat milik Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo). Seandainya pemilik platform digital tidak mendaftar pada PSE milik Kominfo tersebut, maka tindakan pemblokiran akan dilakukan oleh Kominfo. 

Kewajiban mendaftar PSE merupakan amanat Peraturan Menteri Kominfo Nomor 5 Tahun 2020 tentang Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) Lingkup privat. Namun tetap saja tak kurang memunculkan kontroversi di media mainstream maupun medsos. Sentimen negatif pun berhamburan. Berbagai dalih argumentasi bertarung antara yang sependapat dengan yang kontra. Langkah awal upaya penegakan kedaulatan digital negara atas aktivitas banyaknya PSE pun tak surut trending. Hampir kebanyakan para penyelenggara sistem elektronik agaknya masih skeptis menanggapi kebijakan tersebut.

Televisi, sebagaimana disampaikan Walter J. Ong (2004), telah membentuk masyarakat kelisanan baru. Ia menyebutnya kelisanan tingkat kedua (secondary arality). Televisi adalah teknologi yang mewadahi perbincangan. Dalam televisi perbincangan mendapatkan sosoknya yang sempurna. Di televisi orang hanya berbincang, sedangkan di ruang keluarga kita menontonnya, juga acap sambil berbincang. 

Artinya televisi pun telah melewati fasenya sebagai media satu arah. Kehadirannya bukan lagi sebagai sekadar kata benda yang kerap dianalogikan dengan 'tabung gelas' atau 'dinding hidup' karena kemajuan teknologi layar datar LCD dan LED. Sehingga televisi pun sudah menjadi selera konsumsi lewat android atau gadget yang saling berinteraksi dua arah. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline