Lihat ke Halaman Asli

Bambang Iman Santoso

CEO Neuronesia Learning Center

Tujuan Hidup Tidak Hanya Mengejar Kebahagiaan

Diperbarui: 5 Februari 2023   12:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dok. Neuronesia

Oleh: Bambang Iman Santoso, Neuronesia Community

Jakarta, 5 April 2020. Mari kita renungkan kembali, apakah tujuan hidup kita sesungguhnya. Agama yang kita peluk banyak membimbing bagaimana memaknai hidup. Mungkin di antara pembaca - sama seperti saya sebelumnya, mengira dan berpikir keseluruhan tujuan hidup adalah untuk mengejar kebahagiaan. Sementara, semua orang mengatakan juga jalan menuju kebahagiaan tadi adalah dengan cara menjadi sukses. Hingga akhirnya kita berupaya keras mencari pekerjaan yang ideal, pacar yang sempurna, dan tempat tinggal yang mewah, dan seterusnya.

Tapi kenyataan apa yang terjadi? Hhmm.., ternyata bukannya merasa puas, malah kita merasa cemas dan terbelengu. Iya kan? Namun tenang... don't worry be happy lah... Begitu kalimat menghiburnya. Jangan khawatir teman dan jangan bersedih, serta jangan berkecil hati. Karena ternyata bukan Anda sendiri seperti itu. Wajar terjadi dan sangat manusiawi. Teman-teman kita pun, kalau kita mencoba untuk menanyakan atau mencari tahu, pastinya juga merasakan hal yang sama dalam memperjuangkan hal tersebut di atas.

Seperti kisahnya Emily Esfahani Smith yang diungkapkan di TED Talks youtube channel. Saat dia akhirnya memutuskan untuk pergi ke sekolah pascasarjananya, agar mendapatkan psikologi positif mempelajari apa yang benar-benar membuat orang lain berbahagia. Namun apa yang dia temukan di sana, malah telah mengubah hidupnya. Data menunjukkan bahwa mengejar kebahagiaan justru bisa membuat orang tidak bahagia. Dan yang benar-benar mengejutkan jumlah bunuh diri telah meningkat di seluruh dunia. Bahkan baru-baru ini angka tertinggi bunuh diri di Amerika rata-rata di usia 30 tahun

Meskipun hidup semakin lebih baik secara obyektif oleh hampir semua standar yang mungkin ada, namun semakin banyak orang merasa putus asa, depresi dan sepi sendirian. Ada kekosongan yang menggerogoti orang-orang itu, dan kita tidak perlu depresi secara klinis untuk merasakannya. Cepat atau lambat kita akan memikirkannya; apakah ini semua ada? Dan menurut penelitian, apa yang memprediksi keputusasaan ini - sampai orang melakukan bunuh diri, bukanlah kurangnya kebahagiaan. Tetapi karena kekurangan sesuatu yang lain, yaitu kurang memiliki makna dalam hidup. Merasakan hidupnya sungguh tak berarti.

Akan tetapi, bagi Emily dan mungkin sebagian dari kita, akan memunculkan pertanyaan-pertanyaan di benak pikiran. Seperti; "Apakah ada tujuan hidup lain, selain mengejar kebahagian?" Pertanyaanya yang lain; "Adakah perbedaan antara bahagia dan memiliki makna dalam hidup?" Banyak psikolog mendefinisikan kebahagiaan sebagai keadaan nyaman dan mudah, merasakan nyaman saat ini. Artinya, lebih dalam lagi.

Psikolog terkenal Martin Seligman mengatakan bahwa makna berasal dari kepemilikan (belonging to) dan penyajian sesuatu di luar diri kita dan dari pengembangan yang terbaik di dalam diri kita. Budaya kita terobsesi dengan kebahagiaan, tapi mencari makna ternyata adalah jalan yang lebih memuaskan. Penelitian menunjukkan bahwa orang-orang yang memiliki makna dalam hidup, mereka lebih tangguh, mereka lebih baik di sekolah dan di tempat kerja, serta memiliki rata-rata usia hidup yang lebih lama.

Pertanyaan lainnya; bagaimana caranya agar kita bisa hidup yang lebih bermakna? Menurut Emily yang telah lebih 5 tahun lamanya mempelajari piskologi, neurosains, dan filsafat, serta melakukan penelitian dengan mewawancara ratusan orang; menemukan bahwa ada empat pilar kehidupan yang berarti. Serta menurutnya, kita masing-masing bisa menciptakan kehidupan yang lebih berarti dengan membangun beberapa atau semua pilar ini dalam kehidupan tersebut.

Pilar pertama adalah belonging. Kepemilikan berasal dari hubungan yang kita hargai diri kita sendiri secara intrinsik dan di mana kita dapat menghargai orang lain juga. Tetapi beberapa kelompok dan relasi memberikan bentuk kepemilikan yang murah. Kita dihargai untuk apa yang kita percayai, untuk siapa kita membenci, bukan untuk siapa kita. Kepemilikan sesungguhnya memancar dari rasa cinta. Dia tumbuh di saat-saat antara individu, dan ini adalah pilihan - kita dapat memilih untuk berkultivasi milik orang lain.

Berikut salah satu contohnya. Setiap pagi, Jonathan sebagai salah seorang temannya Emily, membeli koran dari seorang penjual surat kabar, seorang pejual jalanan yang sama di kota New York. Mereka tidak hanya melakukan transaksi. Mereka luangkan waktunya untuk berbincang-bincang dan memperlakukan satu sama lainnya seperti manusia.

Tapi suatu saat, Jonathan tidak memiliki uang kecil, dan penjual tersebut berkata, "Jangan khawatir tentang hal itu." Tapi Jonathan bersikeras untuk membayarnya, jadi dia pergi ke sebuah toko dan membeli sesuatu untuk memperoleh uang kembalian. Tapi saat John memberikan uang itu ke penjual koran, dia tetap mengembalikannya. Penjual koran itu merasa terluka. Dia mencoba melakukan sesuatu, tapi Jonathan telah menolaknya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline