Lihat ke Halaman Asli

Baiq Wahyu Diniyati

Program MPBA Pascasarjana UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Bukan Pembaca Sampah

Diperbarui: 20 Januari 2023   12:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

BUKAN PEMBACA SAMPAH

Untuk mengawali prolog tulisan ini, saya terisnpirasi dari novel Tere liye " Selamat Tinggal" yang membuka pikiran saya, bahwa saya pernah menjadi bagian dari pembaca sampah. Sangat menjijikan bukan?. Ya penikmat buku bajakan, tanpa peduli bagaimana menghormati dan menghargai karya orang lain. 

Melalui novel terebut, Tere liye mengilustrasikan dengan sangat apik sebuah kepahitan dan kenyataan yang dialami oleh setiap tokohnya. Salah satu yang menjadi sorot penulis adalah buku bajakan milik Pak Lik Maman dan Buklik Ningrum kerabat dekat Sintong. 

Bayangkan saja bagaimana Industri bajakan mematikan penulis dengan merauk hak kekayaan milik intlektual orang lain.  Tere liye menggambarkannya dengan kisah seorang penulis terkenal dengan nama  G.H Subagja yang berhasil menulis 48 judul buku dan telah laku jutaan ekslempar. 

Sangat fantasis. Namun kehidupannya bertolak belakang dengan realitas yang ada. G.H Subagja meninggal dalam kondisi miskin. Dia penulis dengan buku jutaan oplah, sayangnya sebagian besarnya adalah bajakan. Untuk berobat ke rumah sakitpun tidak punya. Dan tidak sepeserpun menikmati royalti dari buku bajakan tersebut. 

Itulah salah satu relaitas dari kejamnya Industri bajakan. Dan mirisnya, setelah produk dibajak oleh oknum tak bertanggung jawab, pencipta produk asli karya tersebut tidaklah menerima hasil dari penjualan produk bajakan itu, melainkan oknum yang tidak bertanggung jawab tersebut yang mendapati hasil dari dari produk bajakannya. Ilustrasi di atas, seharusnya membuat kita berpikir bahwa dengan membeli buku bajakan, membaca buku bajakan itu adalah kesalahan fatal yang kita lakukan terhadap kekayaan intlektual orang lain. 

Dengan sebab itu dari skenario ini, kita pastikan untuk tidak mendukung para pencuri karya orang lain, yang mana para penjual buku bajakan semakin banyak jumlahnya dari tahun ke tahun. Lalu apa yang bisa kita lakukan, yang jelas bahwa pembajakan adalah tindakan kejahatan.

Ikatan penerbit Indonesia (IKAPI) pada tahun 2019 menerima laporan mengenai pelanggaran hak cipta dari 11 penerbit. Nilai potensi kerugiannya mencapai 116, 050 miliar.  

Selain itu sebanyak 54,2% penerbit menemukan buku bajakan dari karya mereka dan dijual melalui lokapasar daring. Untuk itu IKAPI berharap pemerintah bisa bekerjasama untuk mengatasi masalah buku pembajakan tersebut, dengan mengajukan konkret yang tak hanya membasmi buku pembajakan cetak, akan tetapi juga termasuk membubarkan buku bajakan di lokapasar daring (marketplace). 

Hal ini tidak hanya berkaitan mengenai pembajakan buku melainkan fenomena pencurian hak kekayaan intlektual sebagaimana yang sudah dijelaskan, dan bisnis ilegal ini sudah bersifat mengental dengan kehidupan masyarakat. Dan telah merugikan penerbit dan penulis.

Namun, mengapa sampai saat ini industri bajakan semakin menjamur dan tetap eksis di masyarakat? Sudah tidak asing lagi jawabannya. Meskipun banyak pihak bahkan penerbit sudah melaporkan persoalan buku bajakan kepada aparat penegak hukum. Berpuluh puluh tahun berlalu, tidak pernah ada langkah serius dari penegak hukum untuk memberantas hingga tuntas peredaran buku bajakan. Mereka terus membiarkan pelanggaran hukum ini terjadi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline