Lihat ke Halaman Asli

Bagas Prabowo Adi

Teologi | Pemuridan

Istana Pasir

Diperbarui: 13 November 2019   00:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ini tentang sebuah kepedihan seorang anak yang terlahir ke dalam dunia ditemani oleh kesendirian, seorang anak laki-laki yang telah sejak lahir menghirup aroma dunia ini di dalam kesendirian. Anak itu tidak pernah mengira sama sekali bahwa di dalam hidupnya kesendirian dan kesedihan senantiasa mengikutinya sampai akhir perjalannya.

Dunianya terus bergerak, terus bergerak dengan cepat. Kepergian demi kepergian ia alami, peristiwa demi peristiwa ia lalui. Hingga suatu ketika ia berhenti pada satu titik dimana ia hanya bisa terdiam dengan tangisan di wajahnya, ia melihat kearah sesuatu dimana ia tidak pernah bisa menyentuhnya. Sesuatu itu adalah kenangan, kenangan dari setiap peristiwa yang ia pernah alami, kenangan indah, kenangan bahagia, hingga kenangan yang menghancurkan hatinya serta hidupnya. Ia hanya bisa melihat dengan menangis dan menangis, ia tersadar bahwa ia hanya bisa melihat kebelakang semua kenangan yang ia miliki, tetapi waktu hanya bergerak kedepan.

Baginya kenangan itu seperti istana pasir yang hanya dapat ia lihat, ia tidak dapat memegang atau meletakkan tangannya diatas istana pasir itu, karena saat ia meletakkan tangannya maka istana itu akan hancur, dan tangisan demi tangisan akan mulai mncul. Ia tahu bahwa ia tidak dapat berbuat apa apa kecuali melangkah maju mengikuti sang waktu, disertai kesedihan dan peluh yang senantiasa menetes disetiap langkahnya.

Yaa, saat ini ia sedang melewati bagian tersulit dalam hidupnya yaitu merelakan. Relung hatinya terjebak dalam sebuah jurang yang tidak dapat ia gapai, ia tenggelam di dalam lembah biru yang membuatnya sulit bernafas. Ia sungguh merindukan udara segar saat pertama kali ia datang ke dunia. Kisahnya menghancurkan hati setiap orang yang melihatnya, namun orang-orang itu hanya mau terseret dalam kesedihannya tanpa mengulurkan tangan mereka bagi anak itu.

Namun, kesedihannya berhenti saat ia telah sampai pada ujung perjalanannya. Dimana ia duduk dengan damai sembari melihat sang surya tenggelam dalam garis cakrawala, dan menutup mata disertai hembusan nafas leganya yang menandai akhir dari perjalannya.

Anak itu kini tertidur tenang dalam langkah akhirnya. Sang waktu melepaskan gengamannya dan istana pasir itu kini tak terlihat lagi oleh anak itu.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline