Lihat ke Halaman Asli

Ika Ayra

TERVERIFIKASI

Penulis cerpen

Teko Loreng Nini

Diperbarui: 24 Maret 2024   12:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Renny Asti dari Pinterest

Dari arah luar jendala, aku mendengar cericit beberapa burung kecil yang  begitu riang. Mereka asyik bermain di dahan pohon kedondong. Bagian samping rumah kami memang sejuk dan disukai oleh mereka. Termasuk tanaman singkong yang tumbuh subur, selalu dihinggapi burung-burung sepagi ini. Entah apa yang mereka perbincangkan setiap hari di situ.

Dapur sepi. Uma tidak tampak di depan perapian seperti dugaanku. Pasti Uma sudah tulak. Semalam abah mengajak kami ke pahumaan, memanen padi.

Aku duduk menghadap meja makan dengan perasaan lesu. Seandainya semalam aku tidak merasa gelisah, tentu bisa tidur lebih awal dan ikut juga bersama uma abah. 

Berada di ladang padi walau tak seberapa membantu, setidaknya aku bisa merasakan kegembiraan tersendiri karena bisa melihat itik ga'ak kami mandi di kolam. 

Aku juga suka menangkap belalang, lalu memasukkannya ke dalam botol bekas air mineral. Dan saat semalam hujan, paginya aku dan teman-teman berburu haliling yang gemuk-gemuk untuk dimasak. Sungguh masa kecil yang seru dan menyenangkan.

Aku memperhatikan dua gelas kopi yang tertinggal di meja makan.  Aneh sekali kalau abah tidak sempat meminumnya sebelum berangkat. Begitu pula wadai sarapan yang masih utuh di piring. Apakah uma abah terburu-buru?

Aku mencicip kopi dari salah satu gelas. Hmm, sepertinya ini bukan kopi buatan uma. Aku hafal betul. Ini mengingatkan pada kopi racikan almarhum nini. Meski tak terlalu kental, rasanya paling otentik karena merupakan hasil dari menumbuk sendiri tanpa campuran bahan lainnya.

Aku mencomot wadai di piring. Semasa kecil, aku senang sekali dengan jajanan ini. Namanya gethuk lindri, dibuat dari bahan singkong yang dikukus lalu digiling. Cara menikmatinya dengan ditabur kelapa parut mengkal dan disiram saus gula aren. Setiap penjualnya lewat di depan rumah, aku pasti memanggil uma supaya dibelikan. 

Suara burung-burung di luar jendela sudah mulai berkurang. Sepertinya beberapa dari mereka sudah terbang mencari makan. Matahari mulai meninggi, terlihat pucuk perbukitan di kejauhan lebih terang dari bagian lerengnya.

Aku masih terdiam. Entah harus mengerjakan apa karena uma memintaku membatalkan niatku untuk kuliah. Itu memakan waktu terlalu lama, kata uma. Kalau jodoh sudah datang, jangan ditolak, pamali!

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline