Sejak kapan engkau tak mengingat lagi, hari ini bulan berbentuk sabit, atau esok akan purnama. Kota-kota telah mengajarkan bagaimana caranya untuk melupakan kelembutan cahaya
Kota-kota menyerbu kepala-kepala dengan pendar-pendar dari cahaya papan-papan iklan sepanjang ingatan, atau terpaku dengan gambar-gambar yang bergerak di kegelapan bioskop, atau godaan bertamu di beranda linimasa: Menulis entah apa, dan melihat gambar entah siapa
Boleh kau tanya orangtuamu dulu, bulan purnama adalah cahaya alasan untuk bisa keluar rumah; berkumpul, bernyanyi, berlarian setelah pulang mengaji. Bisa juga menjadi saksi sapa dan pandang malu-malu terhadap kekasih pujaan hati
Perlahan, bulan hilang dari perbendaharaan permainan. Rumah-rumah penuh dengan televisi, juga disibukkan bagaimana meraih cita-cita yang disangkutkan terlalu tinggi
Bulan diperbincangkan lagi jelang puasa Ramadhan, setelah itu ditinggal pergi untuk dilupakan lagi
Sesekali bulan muncul menjadi latar pembuka film-film hantu, atau menjadi bagian larik-larik puisi dari penyair yang hatinya sedang pilu, karena puisinya tak menarik bagi seorang perempuan yang hatinya sedang ia tuju
***
Cilegon, Oktober 2019
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI