Lihat ke Halaman Asli

Ikhwanul Halim

TERVERIFIKASI

Penyair Majenun

Kita adalah Kartini

Diperbarui: 21 September 2022   10:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

flickr.com

Ibu membisikkan kebenaran gelap di malam hari. Dia menunjukkan memar di antara pahanya. Tunggu sampai giliranmu, dia berbisik kepada kami anak-anaknya di tempat tidur. Kartini masih kecil, bahkan saat itu.

Di sekolah kami mencubit anak laki-laki itu, mendorong kepalan tangan kami ke mulutnya. Tawa kami membuatnya takut. Kartini menyeka darah dari gusinya dan tidak mengerti mengapa dia lari darinya.

 Ketika kami dewasa, kita bekerja di toko daging. Kami mendapatkan pisau kami sendiri karena kami memotong dengan baik. Kami menggantungnya di atas tempat tidur kami untuk berjaga-jaga. Pada malam hari, dalam gelap kami bermimpi makan laki-laki. Kartini semakin kecil. Pisau membuatnya takut.

Kami menikah. Kami memakai pakaian adat dan paduan suara melantunkan doa Tuhan. Kami bertanya-tanya seperti apa rasanya. Kartini tumbuh dewasa. Kami membiarkan dia menikmati momennya.

Kami adalah seorang ibu. Kartini selalu bermimpi menjadi seorang ibu. Tidak pernah menjadi monster. Tidak ada yang bermimpi menjadi monster. Kami baik-baik saja.

Anak-anaknya tidak menyukai kami. Dia bilang kami bertarung seperti laki-laki. Cintanya lonjong, tidak cocok dengan tenggorokan kami yang bulat. Kartini tidak mengerti rasa sakit. Tapi kami membuatnya mengerti. Kepalan tinjunya membuatnya menyusut lebih cepat.

Ketika kami melihat ke cermin, kami melihatnya. Kartini. Rambutnya kotor berminyak. Giginya buruk. Berdarah. Baik untuk apa pun kecuali kekerasan dalam rumah tangga. Dia menatap tajam dan kami pikir dia melihat kami merayap di suatu tempat di dalam putih bola matanya.

Dia akan membayar untuk itu, dia berbisik ke cermin, menyeka darah dari pipinya.

Setelah kami menggantung kulitnya di kusen pintu dan merangkak ke tempat tidur Bersama tulang-tulangnya, kami meringkuk di dalam sarang otak kosongnya. Kami mengangkat bibirnya di sudut dan membuatnya tersenyum. Kami meraihnya, tetapi, setelah mencicipi otak dan sumsum tulang belakang suaminya, dia akhirnya runtuh.

Kartini pergi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline