Lihat ke Halaman Asli

Ikhwanul Halim

TERVERIFIKASI

Penyair Majenun

Cerpen: Sekarat

Diperbarui: 4 Juni 2021   23:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sekarat (Sumber: Getty Images)

"Lucu. Aku seperti ingat bahwa aku sekarat," kata suamiku. "Semua orang yang kukenal datang menjengukku menjelang aku menghembuskan napas terakhir."

"Menyenangkan juga kalau semua orang datang saat kita hampir meninggal," kataku, pura-pura tersenyum. Untuk apa repot-repot mengingatkannya bahwa mimpinya belum terjadi? Setidaknya tidak untukku.

Waktunya hanya memiliki beberapa minggu lagi, dan aku tidak ingin sisa waktu itu untuk menjelaskan kepadanya bahwa itu bukanlah mimpi.

Sebaliknya, kami berjalan-jalan di tengah hujan, berlindung di bawah satu payung, dan kemudian kami kembali ke rumah dan saling berpelukan untuk mendapatkan kehangatan.

"Aku sudah tua, sama sekali tidak keberatan kalau harus mati sekarang," katanya, "tapi aku berharap kita punya anak."

Putri kami minggu depan umurnya lima puluh tahun, dan mempunyai dua anak dan satu cucu. Dia menolak untuk mengunjungi karena ayahnya tidak mengingatnya. Ayahnya tidak mengingatnya karena dia tidak ada di masa depan suamiku.

Aku memintanya untuk datang di hari kematian ayahnya, tetapi dia menolak.

"Aku tahu tidak banyak waktu tersisa," katanya, "tapi maukah kamu menikah denganku?"

"Tentu saja." kataku. Kami sudah menikah, tapi aku selalu mengatakan ya setiap kali dia bertanya.

Seminggu sebelum suamiku meninggal, anehnya dia menjadi pendiam, nyaris pemalu.

Kami sedang di dapur, dan aku sedang memasakkan sup makaroni wortel kesukaannya. Dia suka sup karena aroma rempah-rempahnya yang kuat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline