Lihat ke Halaman Asli

Ikhwanul Halim

TERVERIFIKASI

Penyair Majenun

Tujuh Detik Terakhir

Diperbarui: 20 Mei 2019   12:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tujuh. 

Dia hanya punya beberapa detik tersisa. Terlepas dari penggemblengan dan pelatihan yang pernah diterimanya, hasil evolusi berabad-abad yang tak terhitung banyaknya dalam seni berperang, teknologi tidak benar-benar berhasil menghapus kematian. Peluru diciptakan semakin cerdas untuk dengan mudah menembus lapisan seragam yang terbuat super kevlar, kulit, daging, dan tulang. Dan sekarang dia sekarat. Darah mengucur dari luka yang gagal menutup sendiri karena cairan medis dipenetrasi oleh racun kimia dalam udara. 

Enam. 

Mungkin jika ada rumah sakit yang dekat, dia punya peluang. Tapi ini medan pertempuran, dan jeritan yang prajurit terluka dan sekarat terdengar di mana-mana . Tidak ada harapan kali ini, akan begitu banyak prajurit mati di medan perang tak berujung dan terlupakan. Tidak ada keluarga atau sanak saudara kepada siapa berita kematiannya akan disampaikan, tiada kekasih jauh di seberang yang mengisi relung hatinya, tak ada teman yang mungkin berdoa untuk jiwanya. 

Lima. 

Namun dia tak sendiri. Menyatu dengan perisainya, seragamnya dan implan di dalam kepalanya, ada entitas lain yang masih menyala, bahkan saat dia perlahan memudar. Bukan wanita dalam bentuk daging dan tulang, tetapi satu-satunya teman yang dikenalnya selama berbulan-bulan yang panjang dalam pertempuran yang kejam. Kecerdasan buatan yang mengakses seluruh fungsi tubuhnya, dan telah memastikan tanpa ada keraguan lagi bahwa takdirnya akan segera berakhir segera.

Empat.

Kilas kenangan cadangan berkelebat bergetar saat sel-sel neuron yang tak terhitung jumlahnya yang membentuk otaknya mulai mati, aliran pikiran yang bergejolak dan peristiwa-peristiwa yang diingatnya bagaikan film acak yang dipercepat ribuan kali. Warna dan suara meski samar namun fokus, adegan yang jauh di masa lalu dan pernah terlupakan kini muncul ke permukaan.

Tiga.

Dia dan gadis itu hanya teman biasa. Gadis itu tersipu ketika menciumnya dengan malu-malu, canggung saat bibir mereka saling menempel. Pipinya memerah saat matanya yang cemerlang menatap balik padanya. Dunia tampak merangkak dalam gerak lambat ketika dia mengucapkan kata-kata itu untuk pertama kalinya, kenangan yang baru tercipta di benaknya.

Dua.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline