Lihat ke Halaman Asli

Mengapa Peribahasa Masih Sangat Dibutuhkan sebagai Proses Pembelajaran?

Diperbarui: 9 Juni 2021   01:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber Gambar: ilustrasi mengajarkan peribahasa kepada anak. (Diolah kompasiana dari sumber: (Sahabat Keluarga Kemendikbud/Fuji Rachman via kompas.com)

"Teu hayang komo embung, teu embung komo deui hayang."

Lagi dan lagi kompasiana memberikan ide cemerlang bahan untuk dituliskan, dimana tema besar yang diangkat jadi topik pilihan adalah tentang peribahasa.

Negeri kita tercinta Indonesia, memiliki ragam khas dalam hal bahasa. Negeri kita tercinta ini, memang sungguh kaya akan ragam bahasa yang digunakan sebagai salah satu media untuk dialog, berkomunikasi.

Selain bahasa nasional Indonesia yang tentunya bahasa Indonesia, ada ragam bahasa daerah yang didalamnya tentu terdapat juga ragam kata sarat makna yang ditulis tertulis menjadi peribahasa.

Peribahasa sendiri adalah kumpulan kata yang katakanlah singkat, namun tentu padat berisi. Petuah dari leluhur atau para orang tua, atau siapa saja yang telah mendahului kita.

"Berkat mereka, kita belajar memahami ragam makna. Sebab mereka, kita bisa mengolah kata demi kata tersebut yang berbentuk peribahasa, menjadi proses pembelajaran yang mengandung nilai guna dan manfaat bagi kita semua yang adalah para penerus sekaligus penjaga kehormatan bangsa dan negara."

Satu peribahasa yang saya tulis di bagian atas, sebagai kata pembuka tulisan saya ini, adalah peribahasa yang berasal dari sesepuh yang pernah berdomisili di Provinsi Jawa Barat. Bahasa yang digunakan untuk peribahasa tersebut, adalah bahasa sunda, bahasa sehari-hari yang kami gunakan selama ini.

"Teu hayang komo embung, teu embung komo deui hayang", dimana ketika diartikan ke bahasa Indonesia, kurang lebih seperti di bawah ini artinya:

"Bukan untuk ingin apalagi tidak mau, bukan tidak mau apalagi untuk ingin."

Pembelajaran dari peribahasa sunda tersebut, yang kemudian bisa saya ambil hikmahnya adalah, bahwa tentang apa saja yang berkenaan dengan segala sesuatunya yang terjadi yang teralami, kembali ke keikhlasan atau ketulusan itu sendiri.

Tidak perlu mengharapkan, sebab yang namanya hak tentu saja hak, berarti akan pasti dimiliki termiliki. Sebaliknya apapun itu yang bukan haknya, tinggalkan, relakan, lupakan, ikhlaskan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline