Lihat ke Halaman Asli

Sepenggal Cerita Keluarga Hotline

Diperbarui: 23 Juni 2015   23:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

“Halo, posisi dimana Mba Astrid?” terdengar suara di ujung telepon setengah gelisah. Suara salah seorang staff Yayasan Hotline, sebuah Yayasan yang peduli dengan nasib anak-anak korban eksploitasi seks dan korban trafficking.

“Udah di parkiran kok Mba” jawabku menenangkan.

“Oh ya sudah kalo gitu. Kita tunggu ya Mba.”

Aku mempercepat langkah kakiku. Menyusuri lorong-lorong sepi Museum Kesehatan. Ya, Kantor Hotline memang menjadi bagian kecil dari area Museum Kesehatan ini. Bagian kecil yang memberi kontribusi besar bagi hidup para perempuan muda yang nasibnya tak seberuntung aku dan kamu.

Belum juga sepasang kaki-ku masuk ke dalam kantor Hotline, senyum para perempuan muda ini sudah mengembang, menyambut kehadiranku. Wajah riang mereka membakar semangat-ku. Sang Komandan, Esthi Susanti Hudiono tak hadir saat itu.

Tak lama setelah aku berbasa-basi, pelatihan pun segera ku-mulai. Sedikit keributan dan keluhan di kelas wajar untuk anak-anak se-usia mereka. Bukankah aku dan kamu dulu juga seperti itu? suka menggoda para guru yang sedang mengajar dengan kejahilan dan kericuhan-kericuhan yang mengesalkan. Ya, anggap saja ini karmaku.

Usia mereka beragam. Pendidikannya juga beragam. Mulai dari SD hingga SMA. Minggu itu pesertanya hanya 10 orang. Delapan perempuan, dan 2 laki-laki kecil se-usia Anggi, keponakanku. Sekitar 10 hingga 12 tahun.

Jangan bayangkan mereka sebagai anak yang penuh dengan kesedihan. Sama sekali tidak. Yayasan Hotline telah berhasil mendampingi mereka menjadi anak-anak yang kuat. Mereka sama seperti anak-anak kebanyakan. Ceria, penuh semangat, dan sedikit jahil.

Mereka tak sungkan-sungkan bertanya padaku, mengajakku bercanda, dan mengajakku berfoto bersama mereka. Bila aku lupa tidak menyebut nama salah satu dari mereka, mereka akan protes keras. “Kok namaku gak disebut Mba?” hahahaha…..

Hari itu, salah satu dari mereka, sebut saja namanya Bening, membawa serta bayinya yang masih berusia 16 bulan. Nama bayi itu Putra. Badannya mentek, pipinya temben, rambutnya hitam legam dan tebal, matanya bundar dan hitam, tak seperti mata Bening, Ibunya. Mungkin Ia mirip Ayahnya. Ia dilahirkan di luar pernikahan Agama maupun Negara.

Tak hanya usia Putra yang masih sangat muda (16 bulan), usia Bening pun masih sangat muda, 16 tahun. Bila dihitung mundur, maka Bening melahirkan Putra di usianya yang baru menginjak 14 atau 15 tahun. Usia yang masih sangat muda untuk menjadi seorang Ibu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline