Lihat ke Halaman Asli

Hasto Suprayogo

Hasto Suprayogo

Mudahnya Berislam Secara Simbolik

Diperbarui: 15 Desember 2017   01:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Demo. Sumber: TheNews

Ada fenomena menggejala beberapa waktu belakangan di sebagian masyarakat kita, khususnya kelas menengah perkotaan Muslim. Yaitu adopsi nilai-nilai Islam secara simbolik.

Sebegitunya sampai, terkadang kita lihat, simbolisme yang amat menonjol. Namun sayangnya, simbolisme ini sering tak diimbangi implementasi esensi keislaman itu sendiri. Buktinya, marak kita lihat ramai massa menampilkan diri dengan balutan busana islami, namun di saat bersamaan perilaku, ucapan dan tindakannya merusak, mengancam dan bahkan menyakiti sesama.

Begitu pula banyak dijumpai mereka yang mengklaim diri sebagai pemuka agama, namun pikiran, sikap dan tindakannya rasis, seksis bahkan bigot. Pun tak sedikit yang kemudian terjebak dalam perilaku partisan secara politis, baik pro maupun kontra pemerintah.

Belakangan saya kerap mendengar ajakan 'berhijrah'. Mungkin Anda pun kerap menemuinya. Tak sedikit kawan dan kenalan saya yang mengaku telah berhijrah. Dan all of a sudden, makjegagik, tampilan mereka berubah, bahasa mereka berubah, orientasi sosial politik mereka berubah.

Berubah ke arah positif pastinya hal yang patut didukung. Dan saya mendukung siapa saja yang mau menjadi lebih baik. Namun, sering saya jumpai, kawan-kawan ini, kembali terjebak simbolisme dan melewatkan esensi keislaman itu sendiri. Esensi akan keberserahan diri kepada Yang Di Atas, kerendahan hati, represi ego dan nafsu, toleransi akan saudara seiman maupun sebangsa dan lain sebagainya.

Atas nama berislam secara kaffah, mereka melabeli segala sesuatu di sekelilingnya dengan atribut-atribut islami.  Sebentar-sebentar menyitir ayat atau hadist, kemudian jika ada pandangan yang kontra, mereka langsung meminta dalilnya. Tak hanya di hal-hal terkait akidah maupun ibadah, namun seringpula perihal mualamah. Seakan tak puas jika tak ada fatwa untuk dijadikan rujukan, bahkan jika fatwa yang dimaksud dikeluarkan oleh ustadz yang tenar di TV namun tak jelas kualifikasi keilmuannya.

Kawan-kawan ini pun banyak yang kemudian merasa wajib berpolitik aktif, khususnya mendukung partai atau ormas yang berlabelkan Islam. Sekali lagi saya tegaskan, ber-label Islam. Ingat partai X yang meski semua kadernya berpenampilan islami namun selalu terjerembab di kasus korupsi? Ingat ormas Y yang meski anggotanya berbalut gamis namun tingkah lakunya bak preman pasar. Ingat pula organisasi transnasional yang meski mengklaim diri membela Islam namun lebih sibuk melakukan brainwash mahasiswa alih-alih berkontribusi nyata ke massa. 

Simbol itu penting, namun esensi lebih penting. Simbol ibarat baju, musti dipakai dengan baik untuk memantaskan badan. Namun esensi ibarat hati yang memancarkan sinar kepribadian yang menembus badan dan baju pembungkusnya. Adalah percuma memantaskan baju, namun melupakan hati. Adalah absurd mengusung simbol namun menafikkan esensi keislaman.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline