Lihat ke Halaman Asli

Nok Asna

TERVERIFIKASI

Penikmat Senja dan Sastra.

Menikmati Keindahan Alam dan Peninggalan Prasejarah di Maros

Diperbarui: 25 Oktober 2018   07:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sampan di Dermaga (dok.pri)

Pagi itu kami berangkat menuju Rammang-Rammang dari Kota Makassar. Kabarnya waktu tempuh yang kami perlukan adalah sekitar 1 jam 30 menit. Cuaca mendung berakhir menjadi gerimis saat kami sudah tiba di dermaga. 

Gerimis turun diantara celah-celah doa yang kami panjatkan. Akhirnya, setelah beberapa saat menunggu reda, kami memutuskan untuk sewa kapal dan berangkat dari dermaga 1 dengan memakai jas hujan.

Sampan mulai membawa kami menelusuri keindahan alam perbukitan karst yang kabarnya terbesar nomor 2 di dunia setelah China. Sepanjang aliran sungai Pute di kanan-kirinya kami bisa menikmati perbukitan karst dan mangrove yang indah. 

Sesekali sampan kami berpapasan dengan sampan wisatawan lain. Nampak juga beberapa rumah penduduk, cafe, juga tempat penginapan di tepian sungai Pute. Ada saat sampan melewati lorong perbukitan karst yang eksotis. Nyanyian burung berkicau merdu menambah keriangan hari itu.

Perbukitan karst (dok.pri)

Menyusuri sungai Pute (dok.pri)

Sampan menepi, tibalah kami di kampung Berua. Konon katanya kampung ini dahulunya adalah sebuah danau besar yang berada di tengah perbukitan karst yang indah. Kampung Berua adalah kampung termuda di wilayah administrasi Dusun Rammang-Rammang, Desa Salenrang.

Kampung Berua (dok.pri)

Kaki menapaki jalanan persawahan yang dikelilingi perbukitan karst yang menjulang tinggi. Nampak di depan mata rumah-rumah penduduk, masjid, dan juga pohon kelapa dengan nyiurnya. 

Kami menelusuri persawahan menuju situs Pasaung atau yang lebih dikenal dengan batu Kingkong bersama seorang ibu yang bersedia memandu jalan. Mata harus tajam menatap kepada jalanan agar kaki tidak menginjak kotoran sapi dan kerbau. 

Situs Pasaung adalah peninggalan jaman prasejarah. Beberapa lukisan yang dibuat manusia prasejarah bisa kita temui di dinding gua. Ibu pemandu memperlihatkan batu Kingkong yang bisa dilihat dengan berimajinasi, juga lukisan telapak tangan di dinding gua. 

Batu Kingkong (dok.pri)

Lukisan tangan warna merah yang masih bisa dilihat dengan jelas. Mulut gua yang sempit membuat kami malas masuk. Apalagi ibu yang memandu kami juga belum pernah masuk. Kami hanya menikmati gua dari luar. Menurut cerita, tempat ini dahulu adalah tempat sabung ayam. Jaman dahulu, sabung ayam disimbolkan sebagai bentuk kejantanan.

Lukisan telapak tangan manusia prasejarah (dok.pri)

Setelah dari batu Kingkong, kami melangkahkan kaki ingin melihat mata air. Namun, langkah kaki terhenti di sebuah rumah penduduk. Kami istirahat sebentar, menikmati air kelapa dan semilir angin Desa Salenrang. Ibu pemilik rumah sekaligus berjualan aneka camilan dan minuman, sehingga kami bisa singgah sekaligus mengobrol.

Suami ibu pemilik warung adalah orang asli Kampung Berua. Sudah sejak lama si ibu tinggal di kampung ini. Menurut ibu pemilik warung, kurang lebih ada 17 rumah yang berdiri di kampung Berua. Obrolan kami diiringi oleh suara Rhoma Irama yang mengalun merdu lewat sound system yang berdentum kencang.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline