Lihat ke Halaman Asli

Ashri Riswandi Djamil

Belajar, belajar, dan belajar

Realitas Pendidikan di Indonesia

Diperbarui: 7 November 2022   23:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Inilah pendidikan di Indonesia. Pendidikan yang seperti apa? Pendidikan yang diajarkan oleh orang-orang tua kita. Pendidikan yang diajarkan oleh Ki Hajar Dewantara. Semua orang adalah guru, semua tempat adalah kelas. Nampaknya tagline itu masih relevan di zaman digital ini. 

Dimana kita bisa belajar dimana saja, kapan saja, dengan siapa saja. Realitasnya pendidikan kita ini adalah salah satu yang terburuk. Banyak kasus yang kita lihat, banyak kejadian dan umum kita lihat. Sekolah itu bukan untuk mencerdaskan, sekolah itu justru untuk menghancurkan masa depan anak. Jadi kalau sekolah, malah makin bodoh. Banyak kasus seperti itu. 

Sebenarnya pendidikan di Indonesia itu untuk siapa? Ini sebuah pertanyaan yang sulit untuk dijawab. Untuk negara kah? Atau untuk siswa? Kalau untuk negara lalu  mengapa siswa yang harus bayar? Kalau memang untuk siswa kenapa siswa dipaksa untuk belajar dengan kurikulum yang disediakan oleh negara? Kalau mau negara ini adalah urusan negara, maka seratus persen uang nya dari negara maka silahkan  kurikulumnya mau seperti apa yang dicekokin seperti apa. 

Contoh kasus misalnya pelajaran seni. Seni itu bebas nilai. Seharusnya. Seni itu soal rasa. Bukan hal yang bisa dinilai dengan angka-angka. Terdengar tidak masuk akal dan konyol. Bahkan lukisan-lukisan paling bagus, paling mahal di dunia itu tidak semua orang paham akan keindahannya. Kalau tidak paham seni maka lukisan yang abstrak itu bagi orang umum cuma coret-coretan tidak jelas. 

Pelajaran seni seharusnya dipelajari untuk memberikan siswa pemahaman bahwa seni itu indah, bisa dipelajari tapi jangan di ujikan untuk mendapatkan nilai. Karena seni itu sifatnya subjektif. Masuk akal bukan? Contoh lagi misalnya pelajaran olahraga dan kesehatan jasmani. Siswa harus tahu bahwa penting untuk mereka menjaga kesehatan mereka agar tidak mudah sakit serta hidup bersih. Bukan diajari berapa ukuran lapangan voli misalnya. 

Siswa dipaksa untuk mempelajari sekian banyak pelajaran dan nilainya harus bagus semua agar lulus. Sementara guru hanya menguasai satu bidang saja. Tidak adil dan menjerumuskan siswa. Bayangkan masa depan siswa ditentukan selama 90 sampai dua jam. 

Gara-gara nilai yang merah mereka tidak bisa melanjutkan jenjang pendidikan lebih tinggi. Atau tidak bisa diterima kerja misalnya. Anak-anak SMK seharusnya lulus tidaknya bukan ditentukan oleh ujian tulis tapi ujian praktek. Uji kompetensi sesuai bidangnya. 

Bahkan baru-baru ini Menteri Ketenagakerjaan mengatakan ijazah tidak penting untuk cari kerja. Sampai Elon Musk mengatakan tidak penting anda lulusan universitas apa, tapi apa yang anda bisa lakukan, apa keahlian anda. Kompeten yang paling utama. Habis cerita. 

Inilah cerminan pendidikan kita yang tidak berhasil. Suka atau tidak, inilah realitas pendidikan kita. Siswa bertahun-tahun dipaksa dimasukkan semua pelajaran. Maka tidak heran anak didik stres karena banyaknya tugas pe er yang menyiksa jiwa anak-anak yang fitrahnya suka bermain. Hal yang luput dari perhatian guru adalah... ini menarik.

 Siswa itu pasti ada satu atau dua pelajaran yang mereka sukai. Dimana mereka selalu antusias dan menonjol di kelas pada pelajaran tertentu dimana pada pelajaran lain dia seperti tidak peduli apapun motivasi yang diberikan guru. Walaupun sang guru itu telah menerapkan metode pembelajaran yang mutakhir sesuai teori pembelajaran yang mereka pelajari saat masih kuliah dulu. 

Sehebat apapun metode pembelajaran yang diberikan guru, kalau dasarnya siswa itu tidak suka. Maka tunggulah kehancurannya. Kecuali guru tidak memaksakan siswa itu untuk paham materi pelajaran yang diajarkan. Tapi cukup ajarkan mereka untuk berperilaku baik di kelas. Ciptakan suasana kolaborasi bukan kompetisi. Maka tidak ada lagi siswa yang murung, penyendiri, tidak percaya diri karena kalah saing dengan teman sekelasnya yang lebih pintar. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline