Lihat ke Halaman Asli

Arya BayuAnggara

Menulis untuk mengingat luasnya dunia

Inner Sanctum (I), Bangsawan Pure

Diperbarui: 24 Januari 2019   07:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

            Sop tomat masih terasa begitu panas. Lima menit berlalu tanpa ada kegiatan berarti. Hanya ada empat orang: Nenek Nyon, Arka dan kedua pengembala yang tersesat. Tidak ada perkataan berarti selama lima menit itu; sebuah kehampaan total. Hanya Arka yang sesekali berusaha menampakkan kekonyolannya dengan bermain-main dengan sendok makanan itu. Para dewasa tentu tidak menganggap hal itu seronok. Tatapan mereka dingin, perut lapar lebih menggiring mereka kepada rasa diam dan kaku. Salah-salah bisa marah. Lebih baik diam menunggu masa dinginnya sop tomat.

            "Paman-paman yang berdua mengapa termenung saja? Apa ada yang salah? Perasaan sop tomat nenek tidak pernah digugat sebelumnya. Lalu, mengapa tidak langsung menyentuh secicip kuah dari sop tomat itu?" Arka hanya bertanya untuk mengurai rasa bosan. Diam lima menit memang bukan keahliannya. Pikirannya berkecamuk mengangumi para dewasa yang sanggup menahan cerewet diri selama lima menit.

            "Tidak ada yang salah nak. Sebelum aku menjawab, mengapa dirimu sendiri belum menyeruput sedikitpun dari sop tomat yang ada di hadapanmu?" pengembala yang lebih tinggi. Tatapannya masih datar. Semua kehangatan yang membawanya ke suasana ini belum cukup untuk melelehkan kepadatan hatinya. Pengembala yang satu lagi hanya bisa geleng-geleng.

            "Aku memang berencana makan selahapnya. Tapi sayang, sop ini masih panas. Bukan sekedar panas yang bisa ditolerir oleh lidahku ini. Aku menunggu beberapa saat lagi sebelum bsia menikmati sop ini sepenuh hati." Arka menjawab dengan fasih. Sendok itu telah diletakkan dengan rapi di pinggir mangkuk. Udara yang semakin menggila di luar berusaha dia acuhkan. Rasa takutnya dipendam, terima kasih, berkat kehangatan dan kehadiran dari tiga orang dewasa yang dianggapnya bisa bertindak sebagai pelindung.

            "Aku juga berpikir demikian Arka. Mungkin temanku ini juga, termasuk juga nenekmu. Tidak apa. Meski belum mencicip hidangan lezat ini selama lima menit, tetapi untuk apa berusaha berbuat sesuatu dengan tergesa-gesa? Bukankah semakin lama kami di sini, maka akan semakin mudah bagi kita untuk saling berkenalan satu sama lainnya?"

            Penuturan yang aneh. Setidaknya itulah yang terbesit di dalam pikiran pengembala yang lebih pendek. Matanya tidak lepas berpandangan ke arah temannya ini. Semenjak datang ke negeri ini, bukan, ke tempat ini, keadaan dirinya menjadi lebih baik. Senyuman memang menghiasi wajah pemuda yang kira-kira berusia pertengahan dua puluh tahunan itu. Bibirnya juga tidak tahan ingin berucap sesuatu.

            "Sudah lihat sendiri 'kan? Lihat dan amatilah temanku ini!! Sebelumnya dia terlihat begitu kikuk dan kaku. Bahkan sebelum ke tempat ini juga. Bahkan lebih lama dari itu, ketika kami pertama kami bersumpah untuk selalu bersama bepergian kemanapun. Selama itu pula hanya aku yang terlalu nyinyir berbicara dengan penduduk di setiap negeri yang kami jelajahi. Sejujurnya aku mulai bosan. Aku khawatir kalau temanku ini tidak menikmati perjalanan panjang kami ini. Ternyata, semenjak datang ke toko ini, aku semakin memantapkan suatu pandangan yang sempat lusuh, bahwa temanku ini menikmati perjalanannya dengan cara yang lain."

            Nenek Nyon mulai mencoba menyeruput sop itu. Dengan berhati-hati dia mencelupkan sendok keramik itu ke dalam mangkuk, kemudian dia angkat lagi dengan penuh perhatian. Sendok itu sekarang mengangkut beberapa volume dari sop tomat yang lezat. Warnanya merah, karena dari tomat pastinya. Aneh, lebih tepatnya ini terlihat seperti sebuah bubur. Entah mengapa sedari dulu makanan ini disebut sebagai "sop." Tanpa basa-basi berkepanjangan, nenek Nyon langsung mendekatkan benda itu ke bibirnya yang merah muda-keriputan. Secepat-cepatnya nenek Nyon mengisap cairan yang tergenang di dalam ceruk sendok itu. Yang lain hanya melihat dengan harap-harap cemas. Apakah nenek Nyon bakal tersendak kemudian terbatuk-batuk lagi? Beberapa saat mereka menunggu, yang ada hanyalah nenek Nyon dengan wajah bahagia yang merona. Saat itulah warna kehangatan menyeruak ke seluruh sudut ruangan itu. Semua yang ada menyadari, bahwa sop tomat ini telah mencapai fase yang tepat untuk dikonsumsi dengan lahap.

            "Akhirnya!!! Setelah lama menunggu sop tomat ini bisa dinikmati dengan tenang!!! Bersyukur sekali rasanya diri ini!!!" Pengembala yang lebih pendek memang sejatinya seorang ekstrovert. Berjingkrak-jingkrak dia pasca pendinginan sop. Seleranya yang sempat turun, sekarang kembali menakar ulang keganasannya ketika berhadapan dengan hidangan penguji cita mulut. Berkali-kali dia menukikkan sendok itu ke dalam mangkuk sup, sebelum kemudian dia angkat kembali dan dia masukkan ke dalam rongga mulutnya itu. Pemandangan yang memalukan! Apalagi bagi Arka yang tidak terbiasa menyaksikan hal itu. Menjijikkan sekali pikir anak itu.

            "Tapi, aku sempat mendengar bahwa kalian berdua telah menjelajahi banyak tempat, apa benar begitu?" Interogasi dimulai!! Kepiawaian nenek Nyon di dalam mengorek beberapa informasi dari para pengembala sangat berguna. Tidak ada rasa curiga atau pun was-was yang memamahbiak di dalam pikiran kedua pengembala yang dimanja dengan sajian sop yang lezat itu. Mereka hanya saling pandang. Mungkin itu adalah semacam isyarat, siapa yang akan meladeni nenek ini? Masing-masing dari mereka terlalu sibuk di dalam hasrat imajinasi rasa mereka.

            "Tentu kami telah menjelajahi berbagai negeri nenek," "Kami telah melintasi benua dari timur ke barat kemudian lari ke utara ini. Berbagai tempat intinya. Bahkan kami sudah banyak melupakan nama-nama dari daerah yang pernah kami jelajahi itu." Kedua pengembala itu mengambil porsi yang sama. Masing-masing menjawab bergantian, dimulai dari yang pendek diikuti oleh yang tinggi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline