Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Armand

TERVERIFIKASI

Universitas Sultan Hasanuddin

Memeluk Agama, Kok Mewek

Diperbarui: 17 Juni 2015   14:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1419651048754925896

Kita memang berbeda agama, tapi kita punya persamaan yakni masing-masing merasa didzolimi, dipojokkan, ditindas, dijajah. Hanya satu kalimat yang cocok atas gejala sosbud ini yakni: Mewek. Ya, Pemeluk Agama yang Mewek. Kita telah menjadi pemeluk agama yang kurang percaya diri. Kerap saya dengar ucapan-ucapan seperti ini: kita ini mayoritas tapi tertindas, kita ini minoritas makanya dilindas. Inipun hasil dari angka-angka, agama dikaitkan dengan numerikal. Buatku yang mayoritas itu kalau senantiasa berbuat baik. Tuhan suka mayoritas, mayoritas berbuat kebaikan, di bumiNYA ini.

Bila ditamsilkan, agama itu 'rumah tangga'. Di rumah tanggaku, saya bilang bahwa istriku cantik sekalipun kurang cantik di mata tetangga, rumahku bagus walaupun reok-reok. Ini hak saya. Rumah tangga lain tak boleh turut campur. Sebaliknya juga begitu. Bila tetanggaku berkata istrinya seksi, itu urusan dia. Saya tak boleh campuri. Cantik dan seksi itu, soal 'keyakinan'. Keyakinan itu bukan urusan dikotomis, bukan pula urusan urus mengurusi. Keyakinan miliki misteri tersendiri.

Berbenturan

Kelewat banyak mengurusi agama orang lain, ini menjadi pemicu benturan di antara kita. Orang-orang yang kebanyakan nyinyiri agama orang lain, ia pasti lupa urusi agamanya sendiri. Saya tergolong tak sangat respek kepada pemeluk agama yang usili pemeluk agama orang lain. Apa untungnya coba? Tarulah saya, pemeluk agama Islam. Bila saya sentilin pemeluk agama orang lain, itu pertanda saya tidak humanistik. Sedang Tuhan menyuruh kita untuk humanistik. Lagi-lagi, ini buah dari ketidakpercayaan diri dalam memeluk agama. Maka jadilah saya sensitif dan cengeng sekali dan teramat mudah tersinggung. Bila mudah tersinggung, berarti agamaku gagal mengajarkan tentang kesabaran kepadaku sebagai pemeluknya.

[caption id="attachment_386398" align="aligncenter" width="300" caption="tukangngarang.wordpress.com"][/caption]

Demikian pula, orang-orang 'kegatelan' urusi agama lain, itu juga simbol gagalnya agama mengajarkan sabar dalam mencegah 'kegatelannya' itu. Orang semacam ini wajib diberi obat gatel. hahaha

Perumpamaan agama 'rumah tangga' yang saya analogikan di paragraf  awal, itu sebuah refleksi untuk berpikir bening-jernih. Mengapa kita tidak memerindah rumah tangga kita sendiri,  apa tak malu bila setiap orang berkata: "Ih..., ini rumah kok tak terurus".

Dermatitis Agama

Masih soal kegatelan, tanya aja diri kita: "Mengapa kita suka gatel?". Aih,...ini gejala 'dermatitis' pemeluk agama. Dermatitis itu dalam pranala kedokteran, terjadi gangguan kulit. Saya geli melihat orang-orang kegatelan, wajahnya merah-merah, bintik-bintik, ruam dan suka bergerak tak simetris akibat kegatelannya. Orang kegatelan, kelewat sulit untuk dipandang tampan dan atau cantik. Bagaimana mau terlihat tampan, lah dia asyik memelihara jamur keirian, bakteri kecemburuan, dan virus-virus dengki. Maka, terjadilah peradangan hebat. Selama dermatitis ini tak diobati, maka pemeluk agama serupa itu, akan terus aktif mencibiri agama orang lain.

Bagiku, untuk seluruh umat beragama di Indonesia, musuh kita bukan siapa-siapa, tapi musuh kita adalah pemeluk agama yang menderita dermatitis, menderita penyakit kegatelan. Orang inilah yang merusak kita semua, maka mari kita secara masif, mengobati dan merehabilitasi penderita-penderita seperti ini, jangan sampai menular ke mana-mana. Karena penyakit kegatelan ini berpotensi endemis dan pandemis^^^




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline