Lihat ke Halaman Asli

Hati Ingin Bicara

Diperbarui: 24 Juni 2015   22:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Suara dering telepon membangunkanku dari tidur 5 detikku. 5 detik berharga itu terputus karena telpon dari bapak. Kupikir hanya telepon biasa untuk menanyakan apa aku sudah makan atau belum. Namun, kali ini berbeda, dengan suara berat dan nada bijaknya ia meminta padaku untuk menelpon mbah ti.

“nanti telpon mbah ti ya, mama masih sakit dan bapak harus kerja.”

Tak biasanya ia meminta bantuanku seperti ini. Aku tidak mengenal orang ini, aku tidak mengenal siapa lawan bicaraku ini. Ini seperti bukan bapak yang kukenal. Suaranya terdengar lelah dan penuh harap.

Mama sudah seminggu izin untuk tidak kerja. Mama sakit, tubuhnya dehidrasi. Bapak selalu menemaninya di rumah, hingga terpaksa ia juga mengurungkan niatnya untuk bekerja. Semua urusan rumah tangga bapak yang kerjakan. Aku sempat pulang untuk lebaran haji di rumah. Aku lihat bapak begitu bahagia melakukan pekerjaan itu semua, sampai-sampai kutawarkan tenagaku sedikit saja ia tidak mau, yang kudapati hanya rasa bersalah tak banyak berbuat apa-apa di rumah.

Pikiranku tiba-tiba tak bisa diam. Aku benar-benar bisa merasakan dan mendengarkan suara hati setiap orang. Suara hati mama, bapak, dan mbah ti. Suara hati itu tersembunyi di balik sikap menghargai satu sama lain. Suara hati itu mengurungkan niatnya untuk didengarkan oleh banyak orang, nilai keegoisan di sini sama dengan nol.

Kali ini semua hati mereka berbicara meminta pertolongan.

Hati bapak berharap “aku sudah lelah mengurus semua keperluan rumah tangga”

Hati mama merintih “ibu, aku lemah. Maaf merepotkanmu, aku butuh kasih sayangmu dalam keadaan seperti ini”

Hati Mbah ti berteriak, “kami ini sudah tua, butuh perhatian dari anak-anak kami. Kami juga perlu jaga kesehatan tubuh kami”

Semua orang kali ini tidak mendengarkan teriakan hati mereka. Memutuskan untuk mengalah. Hingga sekarang belum tahu hati siapa yang menang mendapatkan keinginannya.

Aku ketikkan pesanku kepada mbah ti dengan penuh rasa hormat dan sikap dewasaku yang minim ini. Pelan-pelan aku bicara dengan mbah ti, meminta untuk mengerti keadaan mama dan bapak di rumah. Ketakutan akan tindakanku untuk tetap meminta mbah ti membayangiku. Namun, kasih sayang seorang mbah ti kepada mama mengalahkan suara hatinya. Ia bersedia datang dari kampung untuk menemani mama yang sedang sakit. Ya, kali ini hati mama yang menang.

Hatiku tiba-tiba sesak, napasku tertahan, air mata turun di pipiku. Aku melihat anugerah kasih sayang Allah SWT yang dititipkan kepada mbah ti. Terima kasih ya Allah, terima kasih mbah ti.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline