Lihat ke Halaman Asli

Arif Muhammad

Freelancer

Sungkeman, Aktivitas Wajib di Hari Lebaran, Warisan Budaya Bangsa Sarat Makna

Diperbarui: 14 Juni 2018   22:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Credit Image : siagaindonesia.com

Berhubung malam ini baru menjelang Idul Fitri, dengan kata lain masih menunggu waktu hingga Idul Ftri benar-benar tiba, di samping itu temannya adalah aktivitas di Idul Fitri, saya belum bisa menceritakan kegiatannya. Mungkin sebatas cerita dari Idul Fitiri tahun yang lalu atau bahkan rencana apa saja yang akan dilakukan esok

Idul Fitri jatuh pada besok Jumat, sekarang Kamis malam. Di kampung halaman saya orang-orang masih sibuk takbiran dan sebagian mengurusi zakat. Saya sendiri? Sibuk menulis tulisan sederhana ini. Yah, setelah tulisan ini selesai saya kira akan segera membantu kegiatan di masjid yakni distribusi zakat fitrah yang sudah terkumpul.

Berbicara mengenai kegiatan di hari Idul Fitri, ada tradisi yang bagi orang Indonesia begitu sakral dan menjadi inti dari perayaan hari raya. Tradisi itu adalah sungkeman. Sungkeman itu berasal dari bahasa Jawa, yang dapat diartikan bersimpuh sambil mencium tangan. Mungkin lain tempat ada konsep yang sama hanya saja berbeda istilahnya sesuai dengan bahasa setempat.  

Pada intinya sungkeman merupakan kegiatan wajib selepas sholat Ied. Sungkeman adalah semacam prosesi saling memaafkan antara ayah dan ibun kepada anaknya, yang mana di dalamnya tersirat harapan dan doa agar ke depan menjadi lebih baik dengan saling memaafkan satu sama lain baik untuk kesalahan yang sengaja ataupun tidak.

Makannya kita sering mendengar isitilah di hari raya, "kita kosong-kosong ya!." Maksudnya adalah semua salah dan khilaf antara satu sama lain sudah dimaafkan dan tidak ada lagi ruang untuk dendam dan rasa benci. Semua dikosongkan dan diisi penuh dengan maaf dan kasih satu sama lain.

Lebaran tanpa sungkeman bagai sayur tanpa garam. Tak ada rasanya. Semua datar saja. Karena memang lebaran bila dilihat kembali hanya ritual sholat Ied yang dilakukan di pagi hari berjamaah di masjid, kemudian ada yang berlanjut makan bersama di masjid atau kembali bersama keluarga di rumah. Setelah ini sudah. Tak berbeda dengan hari-hari biasanya.

 Karena bagi saya secara pribadi 'rasa' lebaran itu dimulai sejak maghrib awal di bulan Syawal atau sore terakhir bulan Ramadhan, hingga selepas sholat Ied usai. Setelah itu rasanya semakin hambar dan terasa tak ada yang spesial.

Oleh karena itu bisa saya katakan, lebaran tanpa sungkeman benar-benar tak berasa apa-apa bahkan kehilangan maknanya bila dilihat dari segi budaya dan tradisi kita sebagai masyarakat Indonesia.

Sungkeman menjadi teramat spesial apabila dalam rangka memenuhinya benar-benar membutuhkan usaha yang panjang. Bagi mereka yang merantau ke kota-kota besar dan jauh dari orang tua yang tinggal di kampung halaman, sungkeman menjadi momen yang paling ditunggu. Setelah satu tahun bahkan lebih  tidak bertemu dan menahan rindu kepada kedua orang tua, dan ditambah lagi datangnya hari raya Idul fitri semakin tak terbendunglah dorongan untuk pulang bertemu dengan orang tua  di rumah, yang kita sebut dengan istilah mudik.

Oleh karena itu banyak orang yang rela berdesak-desakan, bersabar menunggu macet jalanan, bertahan semalam suntuk untuk mendapatkan tiket pulang, agar bisa sungkeman dengan orang tua di rumah, yang tentu sudah menunggu anak-anaknya pulang dan hadir untuk merayakan lebaran bersama-sama.

Kita patut bersyukur kita sebagai orang Indonesia mempunyai tradisi sungkeman di setiap Idul Fitri. Setahu saya (bila salah mohon dikoreksi) di negara-negara Islam lain seperti di Timur Tengah tidak ada tradisi seperti sungkeman layaknya di Indonesia.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline