Fenomena Ketidakpatuhan terhadap Safety Riding di Indonesia: Analisis Penggunaan Helm dalam Perspektif UU Lalu Lintas
Penulis: Usman Arifin M, SH, MH.
Abstrak
The issue of traffic safety in Indonesia is frequently highlighted through incidents involving public officials. A recent report published by Detik.com illustrates this matter, recounting the case of the Mayor of Serang, Nur Agis Aulia, who was sanctioned by the Serang City Police Traffic Unit for transporting two children on a motorcycle without helmets. While the incident reflects a concerning lack of adherence to basic road safety measures, it also demonstrates an exemplary response, as the public official in question accepted responsibility for the violation and thereby provided a model of accountability. This incident underscores the broader challenges of fostering a culture of safety in Indonesian road traffic. Despite the existence of a comprehensive legal framework, compliance with safety measures remains inconsistent. Law Number 22 of 2009 on Road Traffic and Transportation (UU LLAJ) establishes a clear normative basis for safety obligations. Article 106 paragraph (8) explicitly mandates the use of helmets that meet the Indonesian National Standard (SNI) for both motorcycle riders and passengers. Furthermore, Article 291 provides legal sanctions for non-compliance, stipulating a maximum penalty of one month of imprisonment or a fine of up to Rp250,000. The persistence of such violations, even among public figures, highlights the gap between the legal framework (law in the book) and practical behavior on the road (law in action). At the same time, the Mayor’s willingness to accept the sanction demonstrates the importance of role models in cultivating public awareness of traffic safety. From an academic perspective, this case not only illustrates the challenges of law enforcement in everyday traffic contexts but also emphasizes the significance of normative compliance, cultural awareness, and exemplary conduct in building a sustainable culture of road safety in Indonesia.
Keyword: Safety Riding, Law Number 22 of 2009 UULLAJ, Traffic Safety in Indonesia.
Menarik membaca salah satu berita di artikel Detik.com mengenai cerita wali kota Serang ditilang karena membonceng anaknya tanpa helm, dari berita itu kita melihat adanya kesadaran berkendara yang kurang memikirkan safety dalam berkendara di jalan raya dan disisi lainnya adanya tindakan terpuji memberikan contoh mengakui kesalahan oleh tokoh public kita, kurang lebihnya cerita tersebut seperti berikut “Jakarta - Wali Kota Serang Nur Agis Aulia kena tilang. Pelanggaran dilakukan karena membonceng dua anak sekaligus tanpa mengenakan helm. Satuan Lalu Lintas Polresta Serang Kota menjatuhkan sanksi tilang kepada Wakil Wali Kota Serang Nur Agis Aulia karena melanggar aturan lalu lintas saat mengantar anak ke sekolah menggunakan sepeda motor. "Sudah kami tilang," kata Kepala Satuan Lalu Lintas Polresta Serang Kota Kompol Tiwi Afrian di Kota Serang, dikutip Antara”. Keselamatan berlalu lintas merupakan salah satu isu penting dalam pembangunan transportasi di Indonesia. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ) telah menegaskan bahwa setiap pengguna jalan memiliki kewajiban untuk menjaga keselamatan diri sendiri maupun orang lain. Salah satu instrumen yang sangat ditekankan adalah penggunaan helm bagi pengendara dan penumpang sepeda motor. Pasal 106 ayat (8) menyatakan secara eksplisit bahwa pengendara dan penumpang sepeda motor wajib menggunakan helm yang memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI). Untuk memperkuat norma ini, Pasal 291 UU LLAJ memberikan ancaman sanksi berupa pidana kurungan paling lama 1 bulan atau denda paling banyak Rp250.000 bagi mereka yang tidak mematuhinya.
Namun, realitas di lapangan menunjukkan adanya kesenjangan yang signifikan antara ketentuan hukum dan praktik sehari-hari. Fenomena ketidakpatuhan terhadap penggunaan helm masih sangat mudah ditemukan, baik di kawasan perkotaan maupun pedesaan. Banyak pengendara yang memilih tidak menggunakan helm dengan alasan perjalanan dekat, merasa tidak nyaman, atau karena dianggap merepotkan. Ada pula yang menggunakan helm tidak sesuai standar, seperti helm proyek, helm sepeda, atau bahkan helm yang tidak dikaitkan tali pengamannya. Fenomena ini menunjukkan bahwa kepatuhan masyarakat lebih bersifat formalistik, yakni hanya mengenakan helm ketika ada potensi berhadapan dengan aparat penegak hukum, dan melepasnya kembali ketika merasa “aman” dari pengawasan. Dari perspektif hukum, kondisi tersebut menggambarkan adanya kesenjangan antara law in the book dan law in action. Secara normatif, UU LLAJ telah memberikan landasan yang jelas, baik dari segi kewajiban maupun sanksi. Namun secara empiris, norma hukum tersebut tidak sepenuhnya efektif karena rendahnya tingkat kesadaran hukum masyarakat. Kepatuhan yang seharusnya tumbuh dari kesadaran akan pentingnya keselamatan berubah menjadi kepatuhan semu yang dipicu oleh rasa takut terhadap sanksi. Hal ini memperlihatkan bahwa regulasi hukum, meskipun penting, tidak cukup untuk mengubah perilaku tanpa dukungan dari faktor kultural dan sosial.
Selain itu, fenomena ketidakpatuhan ini juga dapat dilihat dari sudut pandang teori efektivitas hukum. Menurut Soerjono Soekanto, efektivitas hukum dipengaruhi oleh lima faktor, yaitu: substansi hukum, penegakan hukum, sarana atau fasilitas, masyarakat, dan budaya. Substansi hukum terkait helm sudah cukup jelas, demikian pula sarana berupa ketersediaan helm SNI di pasaran sudah memadai. Namun, persoalan utama terletak pada penegakan hukum yang belum konsisten dan budaya masyarakat yang masih permisif terhadap pelanggaran lalu lintas. Budaya “tidak apa-apa” atau menganggap remeh perjalanan dekat tanpa helm menunjukkan lemahnya internalisasi norma keselamatan.