Lihat ke Halaman Asli

Arie Putra

Membaca, menulis, travelling, semuanya direnungkan

Sikat Gigi Pacarku

Diperbarui: 21 Mei 2019   06:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Dia selalu bilang bahwa alat yang menggosok giginya setiap pagi itu adalah sikat gigi. Karena model dan rupanya yang tidak biasa, aku memperdebatkannya.

"Itu bukan sikat gigi!" pekikku suatu pagi

"Ya sudah, kalau ini bukan sikat gigi, kita putus saja!"

Ancaman itulah yang mengubah pemahamanku tentang sikat giginya. Aku tidak ingin menyudahi hubungan yang telah terjalin bertahun-tahun hanya akibat perdebatan sikat gigi dan bukan sikat gigi. Cintaku lebih dalam dari argumentasi sebenar apa pun yang membuatnya salah tentang sikat giginya.

Semenjak tiga tahun terakhir De tinggal di kota R. Selain tempat menyelesaikan pendidikan, kota ini baginya telah menjadi tempat menemukan kebebasan. Seperti embun pagi katanya, begitu pagi datang ia akan menguap bebas ke angkasa. Itulah konsep kebebasan miliknya. Seperti biasa, aku tidak ingin memperdebatkan konsep-konsep hidupnya yang kadang tidak biasa bagi orang biasa sepertiku.

Aku tinggal di kota L. Berjarak sekitar 80km dari kota R. Kota tempat tinggalku sangat terkenal karena keberadaan hewan langka Komodo. Wisatawan dari berbagai belahan bumi mengunjungi kota ini untuk melihat dari dekat kehidupan satwa liar ini. Berbeda dengan De yang tinggal di kota R, pekerjaan membuatku tidak sempat menelurkan konsep-konsep kehidupan.

****

Ada sebuah taman di kota R yang lokasinya dekat sebuah perpustakaan. Sore itu De mengajakku menghabiskan sore terakhir kami di sana. Kota ini kota hujan. Sejak kami tiba, gerimis menyebar pelan dari langit.

Tubuh itu begitu cantik di dalam balutan jacket hitam. Syal bermotif songket meliliti lehernya yang jenjang. Kami tidak menghiraukan gerimis.

"De, boleh saya tanya sesuatu?" aku membuka percakapan yang biasanya tidak canggung. De memberi isyarat anggukan. Sebenarnya, ini tentang sikat gigi. Tetapi aku tidak ingin memperburuk suasana. "Kapan kita bisa menikah?" tanyaku. "Aku tahu apa itu menikah beserta segala konsekuensinya. Tetapi haruskah kita menikah?" ia menjawab panjang. "Menurutmu?" sergapku. Ia memindahkan tatapannya pada ujung pohon cemara.

Topik ini lebih berat dari percakapan sikat gigi miliknya. Aku tidak ingin meneruskan percakapan yang tidak menelurkan kesimpulan. Lalu kami berbincang tentang berapa jumlah telur seekor komodo betina sambil tertawa melihat dua ekor burung yang berkejaran lalu menabrak kaca jendela gedung perpustakaan. Setiap kali ada jeda, aku mencium keningnya. Ini telah menjadi isyarat untuk mengisi diam yang tidak berkata-kata.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline