Lihat ke Halaman Asli

Hijrah ke Ibu Kota, Sejahtera atau Menderita?

Diperbarui: 5 Desember 2018   22:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dokpri

Ada ungkapan Ibukota lebih kejam daripada ibu tiri. Stigma ini muncul karena kerasnya kehidupan di Jakarta. Persaingan untuk hidup di Jakarta sangat ketat, misalnya dalam urusan pekerjaan. Tetapi, tetap saja banyak orang dari luar Jakarta berbondong-bondong mengadu nasibnya ke Ibukota untuk mencari uang demi keluarga di kampung.

Seperti Udin Karmudin (63) yang berprofesi sebagai kuli yang sudah berlangsung selama 44 tahun. Mengadu nasib ke Jakarta dari tahun 1974 karena menganggur di kampung halamannya, Tasikmalaya.

"Awalnya kerja jadi kuli di proyek Senen. Terus mulai masuk kerja di pergudangan tahun 1984 sampai hari ini," ujar Uwa.

Berbekal ijasah SMP, Uwa mengaku bahwa sulit mencari kerja. Seminggu tiba di Jakarta, ia tidak kunjung mendapatkan pekerjaan. Padahal ke Jakarta tidak membawa uang banyak. Akhirnya Uwa menjual beberapa pakaiannya untuk membeli makan sehari-hari.

Hidupnya mulai stabil saat bekerja menjadi kuli pergudangan. Baginya, bisa makan sehari-hari dan mengirimkan sedikit uang ke keluarga dikampung sudah lebih dari cukup.

Bosnya, Leondy Salim (26) mengatakan bahwa alasannya mempekerjakan Uwa sampai hari ini adalah karena kekeluargaan.

"Karena Uwa udah cukup lama kerja disini. Ya dari jaman ayah saya jadi bosnya dia. Jadi saya ngerasa bahwa loyalitas Uwa itu sesuatu yang penting. Selain itu juga Uwa sudah dikurangi kerjaan-kerjaan beratnya. Tidak seperti dulu. Sekarang lebih ke bantu-bantu aja kalo lagi ada muat," ujar Leondy. (ARF)




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline