Lihat ke Halaman Asli

Mbah Ukik

TERVERIFIKASI

Jajah desa milang kori.

Seniman Itu Nyleneh dan Setengah Gila?

Diperbarui: 24 Juni 2015   23:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13486726251048284921

[caption id="attachment_201192" align="alignnone" width="530" caption="Mas Ari, Mas Wito, Cak Mantri ( dosen Univ.Negri Malang ), dan Mas Yono"][/caption]

Banyak yang berpendapat seperti ini. Boleh jadi benar. Boleh juga tidak. Tapi yang pasti pendapat seperti ini tentu keluar bukan dari seorang seniman. Artinya seniman tak mau disebut ‘nyleneh’, sekalipun penampilan dan gaya hidupnya ‘kadang’ berbeda dengan masyarakat pada umumnya. Apakah ini sudah menjadi ‘tanda’ memang begitulah seniman yang selalu ingin menarik perhatian? Penulis tentu saja menjawab: tidak! Kenyataan bahwa setiap orang cenderung ingin tampil beda bukan hanya ada pada diri seniman. Amati saja penampilan artis, anggota DPR, menteri, sampai pejabat yang sering tampil di televisi. Pasti mereka tampil beda. Lihat baju, asesoris, potongan rambut, jam tangan, make up, dan gaya bicaranya. Demikian juga para kompasianer. Lihat photo profilenya, semboyan, gaya tulisan dan komentarnya. Pasti ada yang sejuk dan tenang, panas menggebu dan berapi-api. Ada yang seperti Yudistira, Kresna, Srikandi, Kunti, dan Arjuna. Malah ada yang temperamennya bagaikan Pendita Durna, Dursasana, Sengkuni, dan Buta Cakil. Membuat dan mempertajam masalah.

[caption id="attachment_201193" align="alignnone" width="543" caption="Si Marni di antara para penari."]

1348672761232536664

[/caption] Kembali ke topik, penampilan dan gaya hidup seniman. Dalam beberapa hal, tentu setiap pribadi dalam menggeluti profesinya punya ciri khusus untuk menunjukkan siapa dirinya. Lewat karyanya pula mereka ingin menunjukkan apa pandangan hidupnya.

0 0 0 0 0

Masih teringat di tahun 1982 atau 30 tahun yang lalu, selesai pementasan di Gedung Cak Durasim di Surabaya, penulis berbincang-bincang dengan Alm. Gombloh di Nirwana Record di belakang Toko Siola Surabaya. Setelah makan di warung kaki lima di Genteng Kali, kami diajak memborong sejumlah pakaian dalam wanita di Sarinah Tunjungan dan berniat membagi-bagikan kepada para ‘pelacur’ penghuni Lokalisasi Gang Dolly. Aneh kan....? Jangan berpikir macam-macam. Terlepas dari kehidupan malam yang ‘mungkin’ pernah dijalaninya. Almarhum ingin menunjukkan betapa ‘pendapatan’ para pelacur tak cukup untuk sekedar mengganti celana dalamnya!!

Pada awal karyanya Alm. Gombloh amat idealis menyuarakan kegelisahannya akan merosotnya nilai-nilai nasionalisme para muda yang saat itu mulai diserbu budaya barat. Bukan cara berpakaian dan bertutur kata, tetapi cara memaknai budaya dan alam kehidupan sebagai bangsa Indonesia. Lagu-lagu fenomenalnya seperti Gebyar-gebyar, Hong Wilaheng, Ranu Pani, dan Jangger Bali merupakan gambaran kegelisahannya terpuruknya moral masyarakat kita saat itu.

[caption id="attachment_201194" align="alignnone" width="559" caption="Biasa....penulis suka narsis dengan Mas Eko, seorang insinyur perikanan yang teguh sebagai seniman tari."]

1348672851695623692

[/caption] Hidup memang tak akan lepas dari masalah ekonomi. Sikap idealis Alm.Gombloh mulai luntur dengan ciptaan lagu-lagunya yang bergaya populer. Seperti lagu Gila dan Setengah Gila serta lainnya. Bukan meninggalkan idealismenya tetapi menggali yang ia punyai untuk dibagikan kembali...

Tentu para pembaca ‘sedikit atau banyak’ mengetahui seniman lainnya. Penulis hanya sedikit mengutarakan yang pernah dekat dengan penulis. Sebagai tambahan saja untuk diingat bagi yang pernah tahu dan mengenal, kita tentu tak lupa akan idealisme seorang Leo Kristi yang begitu mencintai kehidupan masyarakat bawah dengan lagu yang amat populer: Gulagalugu Suara Nelayan. Penulis sengaja menggolongkan dua sosok ini sebagai seniman daripada seorang penyanyi dengan pertimbangan bahwa mereka berkarya bukan sekedar mencari uang tetapi mengungkapkan panggilan jiwanya akan pandangan hidupnya.

[caption id="attachment_201195" align="alignnone" width="565" caption="Pencari batu merangkap penari lho...."]

13486729861835094018

[/caption]

Seniman tradisional dan lokal.

Secara ekonomis tentu amat berbeda dengan para seniman tingkat nasional. Namun nilai kreatifitas mereka tentu tak kalah. Apalagi keteguhan mereka tetap menjaga dan melestarikan budaya Nusantara tradisional. Secara kasat mata mereka tak banyak berbeda penampilannya dengan masyarakat pada umumnya. Alasannya tentu saja: masalah ekonomi! Bagaimana mereka mau tampil beda, sedangkan honornya saja untuk memenuhi kebutuhan pribadi tak cukup. Bahkan yang memprihatinkan, kadang honor dipotong atau disimpan kembali untuk membeli perlengkapan padepokannya agar tetap eksis.

Bagaimana mereka hidup? Selain sebagai seniman, kebanyakan mereka adalah kaum buruh urban, petani, buruh tani, pasukan kuning ( pengangkut sampah ), tukang becak dan ojek, satpam dan penjaga perumahan. Memang ada juga ( tak banyak ) dari kaum profesional entah guru, pengusaha, dan dosen. Mereka inilah yang secara tulus dan sukarela sudi menyisihkan pendapatannya demi kelestarian budaya tradisional Nusantara.

0 0 0 0 0

Sering para seniman menampilkan kemampuan dan kreasinya dengan dananya sendiri dan sedikit penderma. Namun sambutan masyarakat yang katanya mencintai budaya nasional ternyata amat sedikit. Toh para seniman tak pernah putus asa. Apakah mereka ini tidak nyleneh dan setengah gila?

[caption id="attachment_201197" align="alignnone" width="557" caption="Tukang becak....."]

13486733141084362776

[/caption]



BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline