Lihat ke Halaman Asli

Ryan Ardiansyah

Tak ada kosa kata yang mampu mengambarkan

Romantisme Warkop

Diperbarui: 5 September 2025   08:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kemacetan Jakarta tak bisa dibuat sederhana, atau paling tidak bisa dilihat tertata. Saban hari semakin kompleks kemacetan Jakarta, seolah-olah mendiskripsikan kehidupan masyarakat urban. Menghabiskan waktu dimulai dari pagi hari dengan mengantri menuju tempat kerja sambil ditemani lagu trendi, adapula pekerja kasar yang menyambut pagi dengan genre dangdut. Apa lah daya aku hanya mendengar bising kendaraan begitu mengerikan,

Perlahan rasa cape hilang akibat pahitnya kopi memenuhi dalaman tulang sumsum membangunkan imajinasi. Perlahan ilusi menyelimuti pikiranku, terlalu banyak pertanyaan dalam isi kepala manusia. Apakah isi kepala manusia bisa disebut sebagai peradaban, entahlah bagiku untuk beberapa waktu terakhir semua yang ku pandang di sekitar ku terlihat membosankan dan tak bergairah.

Di pinggiran kota Jakarta terdapat sebuah cafe poletariat alias warkop menjadi tempat bersandar doa-doa para aktivis. Semua obrolan hadir dalam endapan ampas kopi yang belum turun mulai dari masalah akademik sampai negara, bahkan tak lupa bahan canda berbicara seksualitas. Bagiku semua hanya romantisme, sisanya aku menunggu kenalan lama yang tak kunjung datang. Diantara ruang warkop terdapat sudut yang membuat mata ini tertuju, kira-kira letak astronomis 17LU-200LU, sudut itu merupakan pintu keluar masuk ruangan warkop. Akhirnya kenalan lama ku datang, memang dari kedatangannya bagaikan tanda penegasan bahwa Ia tak pernah berubah, masih sama seperti dulu mengidolakan Luxembourg dan memperkuat budaya Jawa tulen. Tanpa basa-basi, ia melontarkan pertanyaan sederhana?

"Apa yang terjadi jika Ken Arok tidak jatuh cinta dengan Ken Dedes, masih mungkinkah terjadi kudeta di Singosari?"

Aku menarik rokok kretek sambil melihat langit-langit.

"Kinanti, masih saja seperti dulu setiap bertemu, kau pasti ada pertanyaan aneh, andai saja kau tak punya kebiasaan dijalan tidak memungut pertanyaan tentu obralan kita tidak serumit ini."

Kinanti pun bersuara membalas grutu Wira. "Nah, bukannya kau sudah tau aku ini seperti ini" kemudian disusul dengan tawa yang nakal.

Wira dan Kinanti merupakan makhluk jenis aktivis yang selalu merajut hubungan dengan perjalanan romantis . Keduanya mempunyai karakter yang unik, Wira dengan pembawaan wiba dan karismatik seperti karakter Tommy Shelby, tapi yang membuat kuat karakter Wira yakni "Otak",

Wira selalu mempunyai tradisi intelektual yang kuat hari-hari tidak pernah absen dari membaca dan diskusi. Sedangkan Kinanti, gadis dengan tinggi 168 cm itu kuat dengan segala hal tentang artistic, wajar saja Kinanti gadis yang tumbuh dikalangan keluarga seniman.

"Aku tau kau selalu seperti itu, Kinanti. Pertanyaan mu sangat menarik tapi pertanyaan tidak bisa dijawab dengan cara seperti guru-guru bahasa Indonesia di sekolah-sekolah. Mungkin pertanyaan itu lebih tepatnya di letakan pada ahli politik" jawab aku sambil membakar rokok kembali yang sempat akibat bara api terjatuh.

Kinanti yang menyimak jawaban Wira sambil melihat daftar menu "Kau tau Wira, sekarang ahli politik sedang sibuk dengan analisanya untuk pemilu, lantas menurutmu bagaimana pertanyaanku?". Kinanti akhirnya memilih segelas jeruk hangat dan roti bakar.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline