Lihat ke Halaman Asli

Ardi Winangun

TERVERIFIKASI

seorang wiraswasta

3 Skenario PDIP dalam Pilkada Jakarta

Diperbarui: 29 Agustus 2016   09:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Presiden Indonesia kelima, Megawati Soekarno Putri berbincang dengan Gubernur DKI, Basuki Tjahja Purnama dan Wakil Gubernur DKI Jakarta, Djarot Saiful Hidayat usai acara pengambilan sumpah jabatan Wakil Gubernur DKI Jakarta, di Balai Kota Jakarta, Rabu (17/12/2014). (Kompas.com/LUCKY PRANSISKA)

Dalam Pilkada Jakarta 2017, sepertinya PDIP dianggap sebagai faktor penentu kemenangan. Tak heran bila partai berlambang kepala banteng itu ‘diperebutkan’ oleh koalisi pengusung calon gubernur. PDIP pantas menjadi rebutan karena selain jumlah kursi di DPRD Jakarta paling banyak 28 kursi, sebuah syarat di mana sebenarnya PDIP bisa mengusung calonnya sendiri tanpa koalisi, juga karena jaring-jaring struktural dan simpatisan partai itu masih kuat.

Sebagaimana diketahui, kemenangan Jokowi dalam Pilkada Jakarta 2012, selain karena diusung oleh PDIP, juga karena jaring-jaring organisasi yang dibentuk secara swadaya oleh masyarakat untuk mendukung Jokowi. Jaring-jaring organisasi itu mampu menggalang dukungan sehingga bisa ikut mendukung kemenangan Jokowi. Jaring-jaring organisasi itu terus terawat hingga dalam Pilpres 2014 yang juga ikut mendukung kemenangan Jokowi dalam Pilpres.

Meski PDIP mempunyai hak untuk mengusung calon sendiri dan memiliki jaring-jaring massa yang tinggal digerakkan namun partai berlambang banteng bermoncong putih itu hingga saat ini belum memiliki calon. Partai yang berdiri di era Reformasi itu masih bingung memilih siapa yang hendak diusung.

Sebenarnya di depan mata sudah tersedia banyak calon, bahkan partai yang alamat kantornya di depan rumah Bung Hatta, Jakarta, itu sudah menyelenggarakan penjaringan calon gubernur yang diikuti oleh banyak politisi yang sudah mumpuni dan terkenal di Jakarta, seperti Haji Lulung, Yusril Ihza Mahendra, dan wanita emas.

Saat ini, untuk memutuskan siapa yang hendak dicalonkan, PDI disebut menjalankan tiga skenario. Tiga skenario tersebut adalah, pertama, tetap mendukung pasangan petahana. Dengan skenario ini maka PDIP mendukung Ahok. Kedua, memilih calon dari hasil penjaringan yang telah dilakukan. Ketiga, mencari calon alternatif.

Kalau kita amati, skenario yang dijalankan oleh PDIP itu sebenarnya sama seperti yang dijalankan oleh semua partai, yakni mencari siapa yang paling menguntungkan dan akan memenangi Pilkada itu. Skenario itu sama seperti skenario menjala ikan. Di mana jala ditebar, ikan pasti didapat.

Bagi koalisi pendukung Ahok, yang saat ini terdiri dari Partai Golkar, Nasdem, dan Hanura, ketiga partai itu mendukung Ahok sebab dirasa ia bisa memenangi Pilkada, terlepas dari besarnya mahar atau alasan lainnya. Di sini ketiga partai itu masuk dalam skenario pertama dari skenario yang digembargemborkan PDIP. Sedang bagi partai semacam PKS, PAN, dan PPP mendukung calon non-Ahok, bisa jadi karena mereka ingin mencari calon gubernur alternatif. Di sini ketiga partai itu masuk dalam skenario ketiga.

Melakukan tiga skenario, bisa jadi ini bentuk jual mahal PDIP bagi dua kubu koalisi. Ini bentuk strategi dari PDIP untuk melakukan tarik ulur untuk menaikkan bargaining pada semua. Semakin mendekati hari-hari penentuan semakin mahal nilai yang dimiliki PDIP. Langkah PDIP seperti demikian bisa jadi wajar-wajar saja sebab seperti paparan di atas, bahwa partai ini memiliki ‘banyak kelebihan’ dalam Pilkada Jakarta 2017, seperti jumlah kursi paling banyak di DPRD Jakarta dan memiliki jaringan organisasi struktural dan non-struktural yang bisa diandalkan.

Namun kalau diselusuri lebih dalam, tiga skenario yang dilakukan oleh PDIP itu justru menunjukkan kelemahan yang diidap oleh partai yang ketua umumnya sejak dulu Megawati terus. Nilai lemah dari tiga skenario tersebut, sepertinya PDIP hanya mengejar kemenangan dalam Pilkada. Mencari kemenangan itu sah namun kemenangan yang diincar itu, skenarionya adalah kemenangan yang hasilnya bisa mengecewakan salah satu pihak dan selanjutnya memberi dampak buruk bagi keberlangsungan pembangunan dan masyarakat di Jakarta selanjutnya. Kemenangan tanpa perubahan.

Titik lemah dari skenario itu tak hanya menunjukkan partai itu sekadar mencari kemenangan tanpa perubahan namun juga menunjukkan PDIP tidak memiliki kader yang siap sedia untuk maju dalam Pilkada Jakarta. Dukungan kepada Ahok, maju-mundurnya sikap Tri Rismaharini, tak didukungnya Djarot, serta diadakan test penjaringan bagi masyarakat untuk dicalonkan menjadi gubernur, itu semua menunjukkan PDIP tak memiliki calon dari kader sendiri yang benar siap menjadi petugas partai untuk bertarung dalam Pilkada Jakarta.

Apakah PDIP dalam Pilkada Jakarta benar-benar tidak memiliki calon dari kader sendiri? Sebenarnya partai itu memiliki banyak calon dan kadernya memiliki banyak kemampuan, lihat saja di banyak daerah, kepala daerah berasal dari PDIP, namun karena elit PDIP sendiri masih juga suka jalan pragmatis, keuntungan jangka pendek (mungkin mahar yang besar), membuat partai ini sering tidak serius mendorong kadernya sendiri maju dalam Pilkada-Pilkada yang ada. Banyak pengalaman menunjukkan yang demikian di mana di daerah basis PDIP namun yang didukung bukan kadernya sendiri.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline