Lihat ke Halaman Asli

Merdeka dan Belenggu

Diperbarui: 16 Juli 2020   23:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Bertambahnya umur, menjadi masa yang agak susah untuk dilalui karena sama seperti tahun sebelumnya pertanyaan tertentu selalu muncul dan menyapa.  Manusia seyogyanya adalah makhluk yang sangat aneh, sebab akan selalu ada pertanyaan lanjutan untukmu setelah melewati satu fase hidup. 

Ketika kau dibangku kuliah akan ditanya "kapan kau akan wisuda?", kalau pun kemudian kau wisuda maka akan hadir tanya berikutnya "kapan kau kerja?", berlanjut pada tanya "kapan menikah?", dan pertanyaan lanjutan yang terus menerus muncul serupa jamur dimusim hujan.

"Kapan menikah?" begitu manis mulut seorang teman bicara padaku sekali waktu. Ku aduk segelas kopi hitam dalam gelasku, bukan karena gula dan kopinya belum tercampur sempurna. Hanya saja ia menjadi caraku untuk mencoba mengais pikir, apa jawaban tepat untuk ini. 

Beberapa saat aku berupaya menjangkau semua dan menghembuskan jawaban, "aku akan menikah pada saatnya". Hanya kemudian yang bertanya merespon datar saja, mungkin mengerti itu adalah jawaban diplomatis pertanda tak ingin dilanjutkan percakapan tentangnya.

Tentang pernikahan, aku meyakini bahwa tak satu pun yang harus membuat seseorang merasa tertekan untuk kemudian melakukannya hanya karena ingin lepas dari sebuah beban. Ia menjadi sesuatu yang amat sangat sakral keberadaannya, bukan hasil emosional dan pikir jangka pendek. 

Memerdekakan diri dari belenggu tanya dan stigma yang terlanjur menjadi kebiasaan dalam bermasyarakat tentu saja tidaklah mudah. Dimana ketika dianggap telah dewasa maka dirimu harus siap untuk menerima banyak tanya sampai pada berdirinya tenda dan pelaminan. 

Bagiku pribadi, menikah adalah dimana kesiapan lahir dan batinku telah terbangun. Menikahi perempuan bukanlah untuk melangsungkan dan melanggengkan keturunan belaka. Ia adalah sebuah proses perjalanan pendewasaan bersama, komitmen dua insan dan pertalian dua keluarga untuk mengahadapi kenyataan-kenyataan yang tersaji didepan mata. Entah itu tentang masalah kepercayaan dan cinta, atau soal pangan dan finansial keluarga. 

Otak kita berharap bahwa apa yang akan kita hadapi setelah pernikahan adalah sebuah kebahagiaan, serupa ceritera novel yang happy ending dimana tokoh utama bersatu dan bahagia selamanya.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline