Lihat ke Halaman Asli

Anisyah Intan Nuraini

Mahasiswa Universitas Airlangga

Justifikasi Mengunjungi Psikiater Dianggap Gila

Diperbarui: 10 Juni 2022   22:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Dewasa ini, semakin canggih teknologi yang tercipta, semakin banyak peneliti menemukan dan memaparkan hasil riset mereka, semakin banyak pula klasifikasi terhadap penyakit manusia, salah satunya mental illness atau penyakit kejiwaan. Mengutip dari alodokter, mental illness sendiri ada lebih dari 200 jenis, tapi yang paling umum terjadi ada 6 jenis, diantaranya yaitu gangguan kecemasan, depresi, Attention-deficit/hyperactivity disorder (ADHD),

 gangguan makan, gangguan pascatrauma, dan skizofrenia.  Mental illness sendiri ialah gangguan kesehatan mental atau jiwa yang memengaruhi pikiran, perilaku, perasaan, 

hingga kombinasi semuanya pada pengidapnya. Mental illness dapat dikategorikan ringan hingga parah, dapat terjadi dalam waktu singkat hingga lama tergantung dari kondisi pengidapnya.

 Adapun faktor yang mempengaruhi terjadi gangguan mental ini adalah karena lingkungan, trauma yang dialami entah yang membekas di fisik maupun di psikis, adanya gangguan pada sistem otak, hingga masalah yang dapat memicu stress.

Mengutip dari sehatnegeriku.kemenkes.go.id berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, menunjukkan lebih dari 19 juta penduduk berusia lebih dari 15 tahun mengalami gangguan mental emosional, dan lebih dari 12 juta penduduk berusia lebih dari 15 tahun mengalami depresi. Selama masa pandemi covid-19 dimana banyak orang kehilangan pekerjaan dan masyarakat dirumahkan, tidak diherankan

jika terjadi lonjakan kasus gangguan jiwa. Stress karena kehilangan pekerjaan dapat memicu depresi dan bila tidak segera diatasi akan menyebabkan mental illness berupa depresi akut. Selama masyarakat dirumahkan, semua kegiatan yang biasa dilakukan secara 

langsung berubah menjadi tidak langsung dengan perantara handphone. Melalui handphone tersebut apapun dapat diakses, baik berupa hal positif maupun hal negatif. Jika yang didapat dari handphone tidak di filter dengan baik dan menjadi bahan pikiran sendiri,

 hal itu juga akan memicu stress. Kebanyakan remaja sekarang sering membanding-bandingkan diri mereka dengan orang lain yang ditemui di media sosial, sehingga muncul fenomena insecure dan overthinking dimana fenomena tersebut hanya membuat beban pikiran. Dan saat pandemi seperti ini, mereka yang memiliki beban pikiran khususnya pikiran negatif tidak bisa menyalurkan keluh kesahnya lantaran keterbatasan ruang. 

Sehingga hal tersebut yang akan memicu masalah mental health seseorang yang bila dibiarkan akan menjadi masalah mental illness. Tak hanya itu, adanya anggapan atau persepsi masyarakat yang menyebutkan bahwa 

para penderita mental illness merupakan pengidap masalah kegilaan, atau lebih parahnya masyarakat mengecap penderita mental illness sebagai orang gila menjadi faktor penyebab peningkatan kasus kesehatan mental di Indonesia. 

Mereka takut akan pelabelan tersebut, sehingga lebih memilih diam alih-alih memeriksakan dirinya kepada ahlinya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline