Mohon tunggu...
Anisyah Intan Nuraini
Anisyah Intan Nuraini Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Airlangga

Fakultas Ilmu Budaya Prodi Ilmu Sejarah

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Justifikasi Mengunjungi Psikiater Dianggap Gila

10 Juni 2022   22:43 Diperbarui: 10 Juni 2022   22:57 216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Dewasa ini, semakin canggih teknologi yang tercipta, semakin banyak peneliti menemukan dan memaparkan hasil riset mereka, semakin banyak pula klasifikasi terhadap penyakit manusia, salah satunya mental illness atau penyakit kejiwaan. Mengutip dari alodokter, mental illness sendiri ada lebih dari 200 jenis, tapi yang paling umum terjadi ada 6 jenis, diantaranya yaitu gangguan kecemasan, depresi, Attention-deficit/hyperactivity disorder (ADHD),

 gangguan makan, gangguan pascatrauma, dan skizofrenia.  Mental illness sendiri ialah gangguan kesehatan mental atau jiwa yang memengaruhi pikiran, perilaku, perasaan, 

hingga kombinasi semuanya pada pengidapnya. Mental illness dapat dikategorikan ringan hingga parah, dapat terjadi dalam waktu singkat hingga lama tergantung dari kondisi pengidapnya.

 Adapun faktor yang mempengaruhi terjadi gangguan mental ini adalah karena lingkungan, trauma yang dialami entah yang membekas di fisik maupun di psikis, adanya gangguan pada sistem otak, hingga masalah yang dapat memicu stress.

Mengutip dari sehatnegeriku.kemenkes.go.id berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, menunjukkan lebih dari 19 juta penduduk berusia lebih dari 15 tahun mengalami gangguan mental emosional, dan lebih dari 12 juta penduduk berusia lebih dari 15 tahun mengalami depresi. Selama masa pandemi covid-19 dimana banyak orang kehilangan pekerjaan dan masyarakat dirumahkan, tidak diherankan

jika terjadi lonjakan kasus gangguan jiwa. Stress karena kehilangan pekerjaan dapat memicu depresi dan bila tidak segera diatasi akan menyebabkan mental illness berupa depresi akut. Selama masyarakat dirumahkan, semua kegiatan yang biasa dilakukan secara 

langsung berubah menjadi tidak langsung dengan perantara handphone. Melalui handphone tersebut apapun dapat diakses, baik berupa hal positif maupun hal negatif. Jika yang didapat dari handphone tidak di filter dengan baik dan menjadi bahan pikiran sendiri,

 hal itu juga akan memicu stress. Kebanyakan remaja sekarang sering membanding-bandingkan diri mereka dengan orang lain yang ditemui di media sosial, sehingga muncul fenomena insecure dan overthinking dimana fenomena tersebut hanya membuat beban pikiran. Dan saat pandemi seperti ini, mereka yang memiliki beban pikiran khususnya pikiran negatif tidak bisa menyalurkan keluh kesahnya lantaran keterbatasan ruang. 

Sehingga hal tersebut yang akan memicu masalah mental health seseorang yang bila dibiarkan akan menjadi masalah mental illness. Tak hanya itu, adanya anggapan atau persepsi masyarakat yang menyebutkan bahwa 

para penderita mental illness merupakan pengidap masalah kegilaan, atau lebih parahnya masyarakat mengecap penderita mental illness sebagai orang gila menjadi faktor penyebab peningkatan kasus kesehatan mental di Indonesia. 

Mereka takut akan pelabelan tersebut, sehingga lebih memilih diam alih-alih memeriksakan dirinya kepada ahlinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun